Opini

Zalim, Ketetapan Standar Hidup dengan Ukuran Tak Layak

134
×

Zalim, Ketetapan Standar Hidup dengan Ukuran Tak Layak

Sebarkan artikel ini

Oleh: Yuli Farida

(Aktivis Dakwah Kampus Jambi)

Buruh ramai-ramai merespons rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait standar hidup layak 2024 sebesar Rp1,02 juta per bulan.
Meski namanya ‘standar’, BPS menegaskan ini bukan kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia. Standar hidup layak hanya bagian dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (IPM).

Nominal standar hidup layak mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. BPS menyebut semakin tinggi angkanya berarti standar hidupnya lebih baik.
Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) mengkritik penggunaan istilah ‘standar’ dalam survei BPS. Presiden ASPIRASI Mirah Sumirat mewanti-wanti bahaya salah makna data ini, di mana berpotensi disamakan dengan komponen hidup layak (KHL).

Pernyataan Nantang
KHL ini yang sejatinya menjadi standar kebutuhan pekerja alias buruh untuk hidup layak dalam satu bulan. Komponen ini dikabarkan bakal kembali dipakai pemerintah sebagai salah satu dasar perhitungan upah minimum provinsi (UMP).

“Masalahnya, BPS menggunakan kalimat ‘standar hidup layak’. Jadi, masih rancu, masyarakat juga kebingungan. Seharusnya bukan standar hidup layak judulnya, rata-rata pengeluaran.

“Itu juga harus jelas siapa yang disurvei. Apakah keluarga atau dia hidup lajang. Itu harus disampaikan (siapa responden BPS), sesuai survei yang mereka lakukan.

Terlepas dari perdebatan istilah milik BPS, Mirah menilai kecilnya angka standar hidup layak itu mencerminkan upah murah yang diterima buruh Indonesia. Ia menegaskan pendapatan pekerja yang diperoleh saat ini memang jauh dari kata layak.

Ia mencontohkan buruh yang hanya mengantongi gaji Rp3 juta per bulan. Namun, pekerja itu juga harus menanggung biaya hidup istri dan kedua anaknya.

“Pada akhirnya, dengan upah Rp3 juta, mereka harus ‘berhemat’. Pendapatannya itu kecil, tapi secara kenyataannya mereka harus mengeluarkan (uang) yang gak bisa dikurangi. Listrik gak bisa dikurangi, bayar kontrakan gak bisa dikurangi,” ungkap Mirah.

“Mau enggak mau mereka mengurangi konsumsi makanan, sehingga berdampak pada ketidaklayakan hidup. Tempat tinggal pun demi mencari yang sesuai pendapatan sehingga mendapatkan tempat tidak layak,” tambahnya.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi juga tak mengerti dengan parameter standar hidup layak ala BPS. Ia mempertanyakan apa poin-poin yang disurvei sehingga menghasilkan angka Rp1,02 juta per bulan.
Sedangkan BPS mengklaim dimensi standar hidup layak dalam IPM dihitung melalui rata-rata pengeluaran dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Angka yang timbul disebut sudah disesuaikan dengan inflasi dan paritas daya beli. komponen hidup layak sempat digunakan sebagai pertimbangan penetapan besaran UMP beberapa tahun lalu.( CNN indonesia 28/11/2024 ).


Tidak Sesuai dengan Realitas

SHL ala BPS ini banyak mendapat penolakan dari masyarakat karena tidak sesuai dengan realitas, bahkan gapnya sangat jauh. Untuk bisa hidup, seorang warga membutuhkan makanan bergizi tiga kali sehari, biaya tempat tinggal, listrik, air (untuk MCK, minum, dan memasak), perlengkapan kebersihan, pakaian yang layak, pendidikan, layanan kesehatan jika sakit, transportasi (termasuk BBM), listrik, dan internet. Untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut untuk satu orang, uang Rp1,02 juta tentu tidak akan mencukupi. Apalagi inflasi membuat harga barang-barang melambung.

Ditambah lagi rakyat masih harus membayar aneka pungutan seperti iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Tapera, berbagai jenis pajak pusat maupun daerah, dan retribusi. Bahkan, pada 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12%. Nominal kebutuhan hidup rakyat akan makin banyak.

Kalangan buruh sontak menolak SHL. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat mengkritik penggunaan istilah “standar” dan memperingatkan bahaya salah makna data ini yang berpotensi disamakan dengan komponen hidup layak (KHL) yang dipakai pemerintah sebagai salah satu dasar penghitungan upah minimum provinsi (UMP). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi juga mempertanyakan parameter SHL ala BPS hingga muncul angka satu juta rupiah.


SHL ala Kapitalisme

Penetapan SHL yang tidak realistis terkait erat dengan ukuran kesejahteraan dalam sistem hari ini. Sistem kapitalisme mengukur kesejahteraan rakyat dari pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita adalah rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap individu dalam suatu negara pada kurun waktu tertentu. Pendapatan per kapita dihitung dengan membagi pendapatan nasional bruto dengan jumlah penduduk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *