Penulis : Iis Sartika
(Aktivis Muslimah Peduli Umat)
Pesta peringatan RI yang 79 memang sudah usai. Namun muncul masalah besar Negeri ini, sebagaimana di ketahui khalayak ada 18 siswi muslimah berkerudung, anggota pasukan pengibar bendera pusaka di IKN, yang sempat di larang untuk mencopot kerudung mereka oleh ketua Badan Pembina Ideologi Pancasila, Yudian Wahyudi. Ini mengundang kecaman keras dari berbagai pihak, baik MUI pusat, MUI daerah, hingga kepala daerah, dan orang tua mengkritik keras bijakan tersebut. Bahkan muncul seruan pembubaran BPIP.
Setelah mendapat tekanan besar, akhirnya para siswi muslimah tersebut diperbolehkan kembali mengenakan kerudung mereka hingga saat upacara Kemerdekaan RI ke 79 di IKN. Pelarangan kerudung tersebut menurut Yudian, adalah untuk menyeragamkan tata pakaian dan penampilan Paskibra 2024. Penyeragaman tersebut berdasarkan semangat Bhineka Tunggal Ika yang di cetuskan Soekarno sebagai Bapak pendiri Bangsa, menurut dia, nilai yang di usung Soekarno adalah ketinggalan dalam keseragaman, yang kemudian di terjemahkan oleh BPIP dalam wujud pakaian yang seragam.
Alasan ini jelas kontradiksi dengan seruan kebhinekaan yang sering di gembar gemborkan para pejabat Negara. Anggota dewan, termasuk BPIP. Pasalnya mereka sering meminta agar rakyat saling menghargai dan menghormati keragaman di tanah air. Mengapa kemudian Bhineka Tunggal Ika dalam kasus ini, ditafsirkan harus ketinggalan dalam keseragaman.
Aturan pencopotan kerudung bagi para siswi anggota Paskibra ini jelas melanggar hak warga Negara untuk menjalankan aturan Agama. Yang mereka yakini, dan hukumnya wajib bagi setiap muslim. Bukan seperti topi atau sandal yang bisa buka copot kapan saja. Dalam UUD 1945 dalam pasal 29 ayat pun di sebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk agama. Negara juga menjamin kemerdekaan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.