Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka, menjamin Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA), yang sudah disahkan dalam rapat paripurna, tak akan mendiskriminasi perempuan. Hal itu merespons anggapan UU KIA dinilai mendiskriminasi perempuan di tempatnya bekerja. (tirto.id, 07-06-2024).
Dalam UU KIA tersebut ada poin terkait cuti melahirkan bagi ibu pekerja selama enam bulan dengan syarat dan ketentuannya, yaitu cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya, jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Ibu pekerja yang cuti melahirkan tidak boleh diberhentikan dan berhak mendapatkan upah secara penuh untuk empat bulan pertama serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam. Demikian juga ayah berhak mendapatkan cuti selama 2 hari dan dapat diberikan tambahan 3 hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan pemberi kerja. Sedangkan suami yang mendampingi istri yang mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti 2 hari.
UU KIA pun mengatur pemberian jaminan pada semua ibu dalam keadaan apa pun, termasuk ibu dengan kerentanan khusus. Melihat hal ini UU KIA seolah-olah dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Namun benarkah menyejahterakan?
*Kental dengan Aroma Pemberdayaan Ekonomi Perempuan*
Menelisik penjelasan Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin terkait pengesahan UU KIA, bahwa UU ini sebagai bukti terus bergeraknya negara membangun dunia kerja yang inklusif dan produktif bagi perempuan. Beliau pun menyatakan UU ini mampu meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja dan berkontribusi terhadap peningkatan produktivitas nasional. Sebelumnya, dianggap kendala-kendala maternitas dan reproduksi menjadi alasan utama yang menghambat kaum perempuan berpartisipasi di dunia kerja.
Dengan penjelasan ini nampak bahwa ternyata hal yang mendasari lahirnya UU ini bukanlah semangat untuk menyejahterakan ibu dan anak. Pemaparan tersebut di atas lebih menggambarkan bahwa UU KIA kental dengan aroma pemberdayaan ekonomi perempuan dibandingkan adanya jaminan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Tersiratlah bahwa dengan disahkannya UU KIA ini, perempuan didorong untuk bekerja. Alasannya, sekalipun para ibu ini bekerja, ia masih bisa merawat anaknya pascapersalinan dengan diberikannya cuti melahirkan yang cukup panjang.
Pertanyaannya, jika negara minim dalam memfasilitasi para ibu, dalam hal jaminan kesehatan gratis bagi ibu dan anak, jaminan tersedianya makanan bergizi seimbang bagi ibu dan anak, juga jaminan bahwa ibu bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan menyempurnakannya hingga dua tahun, cukupkah cuti untuk menjamin kesejahteraan ibu dan anak? Tentunya berat jika kita menjawab dengan kata ‘cukup’, karena realitanya sejahtera bagai jauh panggang dari api.
Pertanyaan berikutnya, saat Negara juga tidak memberikan jaminan pekerjaan bagi kepala keluarga sehingga banyak PHK terjadi di mana-mana, akhirnya para ibu pekerja pula lah yang harus menanggung beban ekonomi keluarga, bisa dirasakan, betapa beratnya beban hidup para ibu. Setelah secara mental mereka menanggung beban karena harus meninggalkan bayi-bayi mereka untuk bekerja, saat suami nir pekerjaan, terbebani lagilah para ibu karena harus menanggung penafkahan. Lelah tiada tara tentunya. Lalu, sisi mana UU KIA berperan mengeliminir kelelahan para ibu? Boro-boro sejahtera, yang ada duka lara.
Demikianlah saat kesejahteraan diukur dengan perspektif kapitalisme, kesejahteraan ditimbang berdasarkan capaian materi. Nir dimensi ruhiyah. Penuh dimensi materialistis di mana kesejahteraan ibu dan anak yang hendak diwujudkan dinilai dengan pencapaian materi.
Miris. ibu bisa mengumpulkan cuan, mendulang rupiah, optimal bekerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi sekalipun memiliki bayi. Anggapan ini sarat dengan kepentingan ekonomi. Target-target materi dinomorsatukan (ciri khas kapitalisme). Pertumbuhan ekonomi, kinerja industri, tingkat produksi, dan hal sejenis mengalahkan hal-hal yang bersifat ruhiyah yang seharusnya mengiringi seorang ibu dari generasi yang dilahirkannya.
Pemberdayaan ekonomi perempuan terlalu pekat mengentalkan aroma kapitalisasi. UU KIA menyempurnakan jauhnya para ibu dari perannya sebagai ratu rumah tangga yang dimuliakan kedudukannya, disejahterakan hidupnya tanpa harus berjibaku di ranah publik, bersaing dengan kaum laki-laki untuk mengais rejeki.
*Tanpa UU KIA Islam Memberikan Sejahtera*