Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Dikutip dari CNBC Indonesia, target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 diusulkan sebesar Rp 2.189,3 triliun. Ini adalah kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp 2.000 triliun. Usulan tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (16-08-2024).
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah kembali mengalami peningkatan per akhir Juli 2024 yaitu mencapai Rp 8.502,69 triliun. Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), secara nominal, posisi utang pemerintah tersebut bertambah Rp 57,82 triliun atau meningkat 0,68% dibandingkan posisi utang pada akhir Juni 2024 yang sebesar Rp 8.444,87 triliun. Sementara itu, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 38,68%. Angka ini menurun dari rasio utang terhadap PDB bulan sebelumnya yang sebesar 39,13%. Kemenkeu menyatakan, rasio utang yang tercatat per akhir Juli 2024 ini masih di bawah batas aman 60% PDB sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara (kontan.co.id, 18-08-2024).
Utang dan Pajak Paket Sengsara
Sungguh memalukan, utang dan pajak sebagai dua sejoli penyengsara rakyat di Konoha menjadi sumber pendapatan negara. Memang demikianlah dalam kapitalisme, utang dan pajak menjadi kebanggaan untuk menghidupi.
Berutang dan menaikkan pajak sah-sah saja sebagai tulang punggung ekonomi kapitalisme, sekalipun memberatkan rakyatnya. Atas dasar itu pula negara yang betah dengan sistem ini akan selalu memerhatikan utang dan pajak untuk memproyeksikan kondisi ekonomi negaranya.
Senyatanya pajak dengan segala jargon gombalismenya, sungguh telah menyengsarakan rakyat. Kesempitan semakin mencekik kehidupan rakyat.
Bisa dibayangkan, untuk kehidupan sehari-hari saja rakyat begitu sulit, keharusan membayar pajak atas rumah dan lahan yang mereka tinggali, kendaraan yang mereka beli, juga penghasilan mereka yang tidak seberapa semakin menghimpit. Rakyat menjerit, sulit bernafas, dan semakin sakit.
Memang masih ada anggapan bahwa pengelolaan pajak tergantung pada para pejabatnya. Di negeri ini koruptor bagai alligator, namun di negara-negara Barat yang pajaknya tinggi, kehidupan masyarakatnya tetap terjamin.
Sepertinya anggapan tersebut cukup mendamaikan harapan para wajib pajak di negeri ini, seakan pajak bukanlah masalah. Padahal, jika dipahami dengan penuh kesadaran, gambaran realita pajak adalah jika rakyat ingin memperoleh jaminan hidup maka mereka harus mengeluarkan sejumlah uang dari koceknya sendiri.
Bukankah hal ini menampakkan bahwa hubungan negara dan rakyat bagai penjual dan pembeli? Saya jual kami beli. Bukan relasi negara sebagai penanggung jawab atas berbagai jaminan terhadap rakyatnya.
Kondisi ini membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme, kenyamanan hidup mustahil diperoleh secara gratis. Rakyat harus menanggung kehidupan mereka sendiri. Negara hanyalah regulatornya. Payah!
Dengan pajak peran negara semakin minim. Dengan pajak, pemerintah hanyalah sebagai pembuat aturan mengenai sistem pembayaran pajak bagi rakyat. Alhasil, rakyat sendirilah yang mengurus kebutuhannya. Negara hanya sebagai fasilitator. Pemindahan tanggung jawab pengurusan dialihkan kepada rakyatnya. Peran negara nihil!
Untuk menyebut utang, pemerintah kerap memperhalus bahasa dengan menyebutnya sebagai bantuan investasi. Mereka memaksa rakyat untuk percaya bahwa bantuan investasi adalah modal untuk menstimulus ekonomi. Selanjutnya utang pun bermutasi menjadi alat politik.
Sadar atau tidak, sejatinya negara adidaya telah menjerat negara-negara kecil dengaan instrumen finansial berupa utang. Mereka menyebarkan ide pemulihan ekonomi dengan utang sebagai jebakan. Ironis, atas nama bantuan, utang berpetualang memosisikan mereka bagai penyelamat ekonomi. Skenario dibuat memainkan drama si lintah darat.
Jeratan utang dililitkan pada para debitur dengan bunga margin yang kian membengkak mengikuti fluktuasi pertukaran mata uang negara debitur terhadap dolar. Jebakan berhasil. Jumlah utang makin bertambah, level ketergantungan pun makin erat antara negara debitur pada negara kreditur. Walhasil negara debitur bagai kerbau dicucuk hidung terus mengikuti kemauan negara kreditur. Akibatnya negara debitur bukan hanya lemah di posisi tawar saja, lebih gila lagi kedaulatan negara pun turut tergadai.A set-aset strategis pun turut dipersembahkan pada asuhan negara kreditur.
IMF atau World Bank (Bank Dunia) sang lintah darat dunia, menjadi wahana negara adidaya untuk menawarkan dengan rayuan mautnya, berbagai rupa utang dan juga berbagai jebakan untuk menjerat negara-negara berkembang hingga terlilit dan sakit. Dengan utang negara penerima utang pun sakit. Parahnya, rakyat lah yang menanggungnya. Dimainkan lah dua sejoli yang tak henti menyengsarakan penduduk negeri.