Opini

Ulah Pati, Kegagalan Kapitalisme Sekuler Membangun Jati Diri

460
×

Ulah Pati, Kegagalan Kapitalisme Sekuler Membangun Jati Diri

Sebarkan artikel ini

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty

(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Polisi telah mengungkap motif pemuda di Driyorejo, Gresik berinisial JV (24) yang ditemukan tewas gantung diri di rumahnya. Motifnya diduga karena terlilit utang. Temuan jenazah JV ini sempat menggegerkan warga setempat. Warga sempat menduga korban live Facebook saat melakukan upaya gantung diri. Kanit Reskrim Polsek Driyorejo Ipda Achmad Andri Aswoko menyatakan dari hasil pemeriksaan terhadap orang tua korban, polisi menemukan satu dugaan motif bunuh diri. Yakni karena terlilit utang, dan korban tidak bisa membayar. (detik.com, 08-07-2024).

Seorang pria berinisial S (44), ditemukan tewas dengan gantung diri di Ciputat. Berdasarkan informasi yang digali polisi, pria tersebut terjerat hutang judi online. Pria tersebut ditemukan tewas gantung diri di sebuah saung di Jalan Roda, Ciputat, Minggu (7/7/2024). Kapolsek Ciputat Kompol Kemas Muhammad Syawa di Tangerang menyebutkan bahwa insiden itu diketahui terjadi sekitar pukul 06.00 WIB. Diketahui pria tersebut terlilit hutang usai kalah judi online. (detiknews, 07-07-2024).

Dua bewara di atas hanya sebagian dari sekian kasus ulah pati (bunuh diri) yang terjadi di negeri ini. Mengerikan, jika Data Pusat Informasi Kriminal Indonesia (Pusiknas) Polri, mencatat terdapat 451 kasus bunuh diri pada periode Januariā€”Mei 2023, setidaknya ada tiga orang bunuh diri setiap harinya.

Dari kronologi yang diberitakan, ulah pati yang terjadi sangat terkait dengan permasalahan hidup. Lilitan utang salah satunya. Dan seiring dengan viralnya pinjol dan judol, Dua hal ini ternyata memiliki andil besar dalam menjeratkan utang pada korban. Akhirnya ulah pati dianggap sebagai jalan pintas untuk lepas dari masalah. Miris, betapa bunuh diri makin menjadi-jadi, seakan menjadi tren untuk menyelesaikan persoalan hidup yang kian membelit. Jati diri sebagai makhluk paling mulia dengan akal sebagai bekal, seakan tidak mampu terbangun secara sempurna.

*Hilang Jati Diri Goyahnya Kesehatan Mental, Sekulerisme Biang Keladi*

Saat ini pelaku bunuh diri tidak hanya satu atau dua orang. Angka kasus sudah ratusan. Artinya ini bukan lagi sekadar fenomena biasa, tetapi seakan sudah menjadi tren.

Meningkatnya angka bunuh diri telah menggambarkan betapa jati diri sebagai makhluk mulia. Buruknya mental pun terbentuk. Masyarakat pun tak cukup kuat menghadapi tantangan dan ujian hidup.

Goyahnya mental yang merupakan faktor internal tentunya tidak terjadi begitu saja. Cara pandang tertentu yang membangun jati diri menjadi lemah sangat berpengaruh. Cara pandang manusia yang saat ini sarat dengan visi misi yang menjauhkan agama dari kehidupan sangat berimbas pada diri manusia. Masyarakat mengalami krisis identitas sebagai seorang hamba serta krisis keimanan yang membuat seseorang sangat rapuh, gampang tersulut emosi, dikuasai hawa nafsu sesaat, dan pikiran semrawut. Jelas sekali lemahnya iman menyeret manusia ke dalam kondisi sakit mental.

Bukan hanya itu saja. Tren bunuh diri juga dipengaruhi faktor ideologi. Kapitalisme sebagai ideologi yang masih diminati dengan cara pandang serba materialistis, mengarahkan standar kebahagiaan kepemilikan pada materi semata. Kemuliaan dan kemapanan hidup pun dinilai dengan segala sesuatu yang bersifat fisik, seperti jabatan, harta, kedudukan, dan kemewahan. Alhasil, cara pandangan ini mendorong manusia dalam pencapaiannya yang bersifat materi dilakukan dengan segala cara. Halal atau haram tidak lagi menjadi ukuran. Gaya hidup seakan hal yang harus dipenuhi walau lebih besar pasak daripada tiang. Tuntutan hidup yang serba mahal pun semakin mendesak. Akhirnya pinjol dan judol demi memenuhi tuntutan ekonomi dan kebutuhan hidup yang makin mahal serta gaya hidup menjadi pilihan. Sayangnya, pada saat yang sama, negara tidak memberikan jaminan apa pun agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.

*Butuh Peran Negara*

Sejatinya yang terjadi saat ini pun tak bisa dilepas dari adanya kebijakan yang tidak prorakyat. Saat rakyat tengah dalam impitan ekonomi, seperti harga pangan mahal, subsidi dicabut, tarif pajak naik, biaya pendidikan mahal, iuran kesehatan dengan layanan alakadarnya, dan masih banyak kebijakan lain yang kontradiktif dengan kondisi rakyat yang sedang susah, negara seakan tak acuh dengan semua itu.

Faktanya, dengan berbagai beleid yang ada, rakyat terus saja dihadapkan dengan situasi dan kondisi yang sulit. Contohnya saja kebijakan negara yang sarat dengan liberalisasi ekonomi. Kebijakan ini bukan malah memudahkan rakyat menghidupi diri, namun mencari pekerjaan saja sangat sulit, akhirnya rakyat pun susah memenuhi kebutuhan pokok yang diperlukannya. Kesenjangan sosial yang makin lebar dan dalam antara si kaya dan si miskin semakin nyata terhampar.

Ditambah lagi sistem pendidikan di negeri ini. Sistem pendidikan sekuler telah gagal membentuk karakter dan kepribadian yang baik. Kepribadian Islam sebagai kepribadian terbaik tak terwujud di dalamnya. Akibatnya, sistem pendidikan yang diharapkan dapat menciptakan generasi bermental baja, berkarakter mulia, dan memiliki pemikiran jernih, hanya sebatas angan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *