Oleh Ummi Nissa
Pegiat Literasi
Masyarakat kini tengah dihebohkan dengan pemberitaan biaya kuliah yang tinggi. Bahkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) ini menuai aksi protes dari para mahasiswa. Kenaikan UKT terjadi di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) seperti di Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (UNRI), hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan. Menanggapi hal tersebut PLT Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie membantah adanya kenaikan UKT. Menurutnya bukan UKT-nya yang naik tetapi kelompok UKT-nya yang bertambah. Tak cukup sampai di situ, mengenai banyaknya protes soal UKT Tjitjik menyebut, pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Ia mengatakan bahwa pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP, hingga SMA. (cnbcindonesia.com, 18 Mei, 2024])
Besarnya biaya UKT, sebenarnya dampak nyata dari liberalisasi perguruan tinggi negeri, terutama sejak tahun 2000 melalui UU Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN). Dengan pemberlakuan UU PTN-BHMN, negara bukannya menambah, tetapi justru memangkas anggaran biaya pendidikan tinggi. Lalu untuk menutupi kekurangannya, PTN dan kampus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mencari sumber dana sendiri. Jalan pintas pun ditempuh, di antaranya melalui regulasi penerimaan mahasiswa baru dengan menerapkan biaya tinggi, termasuk membuka jalur mandiri bagi calon mahasiswa yang mampu membayar mahal.
Perubahan PT menjadi PTN-BH meninggalkan peran negara dalam pembiayaan pendidikan di perguruan tinggi. Karena itu, perguruan tinggi harus mencari sumber pendanaan secara mandiri. Sementara seluruh biaya yang ada di perguruan tinggi negeri merujuk pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang ditetapkan dengan mempertimbangkan capaian standar nasional pendidikan tinggi, jenis program studi, dan indeks kemahalan wilayah. Akhirnya komersialisasi pendidikan tinggi tidak terhindarkan lagi.
Di sisi lain, sistem pendidikan saat ini juga gagal melahirkan generasi berkualitas. Sebab di perguruan tinggi para mahasiswa diberikan kurikulum yang sekadar memenuhi tuntutan dunia industri. Tuntutan ini sebagai konsekuensi logis dari adanya program WCU (Word Class University). Program ini mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu yang membutuhkan biaya yang mahal, termasuk konsep triple helix yang menjalin kerjasama antara pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi.
Alhasil, orientasi pendidikan tinggi tidak lagi pendidikan, tetapi lebih banyak memenuhi tuntutan dunia industri. Kenaikan UKT beserta faktor yang mempengaruhinya merupakan kebatilan dari sistem kapitalisme. Sistem yang berorientasi materi ini menjadikan sektor layanan publik seperti pendidikan sebagai ladang bisnis. Semakin lama kian terasa pendidikan sekarang hanya digunakan mencari pekerjaan dan uang, bukan ilmu. Jadi selama sistem kapitalisme eksis permasalahan biaya kuliah pasti akan semakin mencekik, pendidikan berkualitas dan gratis hanya menjadi impian kosong.
Jika sistem kapitalisme tidak mampu mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas, berbeda halnya dengan sistem Islam yang diterapkan oleh daulah khilafah. Sistem Islam mampu mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas karena beberapa tuntunan syariat.
Pertama, Islam memiliki tujuan di bidang pendidikan yaitu memelihara akal manusia. Sebagaimana yang Allah Taala jelaskan dalam Al-Qur’an surah Az-Zumar ayat
9: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran.”