Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Polemik kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) terjadi di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN), seperti di di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.(CNN Indonesia.com, 18/5/2024).
Anak negeri pun menjerit. Melejitnya UKT bukan hanya membuat pilu, namun menorehkan luka dalam dengan pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan, kuliah atau pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier sehingga pemerintah tidak memprioritaskan pendanaan bagi perguruan tinggi. Padahal untuk menempatkan anak negeri di ranah posisi para ahli pembangun sebuah peradaban gemilang butuh pendidikan tinggi sebagai bekal.
Alih-alih mendapat ruang untuk menjadikan keunggulan bagi negeri, anak negeri dihadapkan pada minimalisir cita-cita. PT bukan masuk ranah wajib belajar. Menurut Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu (16/5/2024) tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan.
Memang, masuk PT adalah pilihan. Namun untuk menjadikan anak negeri siap menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi, tidak bisa hanya mencukupkan belajar sampai tingkat SLTA atau SMK. Bagaimana bisa lulusan SLTA atau SMK berhadapan dengan teknologi terapam nuklir misalnya, atau teknologi lainnya yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan negerinya.
*Akibat Keburukan Sistemik*
Dari survei yang dilakukan terhadap 722 mahasiswa angkatan 2023, sebanyak 70,7% merasa keberatan dengan UKT yang ada. Dari jumlah yang keberatan, 52,1 persennya mengajukan peninjauan kembali UKT. Tidak hanya itu, mereka juga melakukan berbagai cara agar tetap kuliah. Di antaranya, 93 mahasiswa yang mencari beasiswa, 65 mahasiswa mencari pinjaman, dan 34 mahasiswa menggadaikan atau menjual barang berharganya. (Tempo, 2/5/2024).
Tingginya prosentase keberatan dengan UKT dari beberapa PT menunjukkan betapa sistem saat ini sama sekali tak berpihak pada rakyat. Kesulitan rakyat tidak dipertimbangkan. Semua kebijakan berjalan tanpa melirik jeritan anak negeri yang berteriak nyaring karena lejitan harga ruang tempat menimba ilmu. Buruknya sistem menjadikan ilmu terkapitalisasi. Pendidikan terdegradasi oleh sebuah aturan tak manusiawi.
Terlebih setelah adanya penetapan status PTN-BH, realisasi PTN tidak lagi sebagai lembaga pendidikan murni, namun sebagai ladang bisnis. Konsep triple helix (penggabungan tiga unsur pemerintah, pendidikan, dan bisnis) yang lahir dari kapitalisme asuhan Barat dan bersandar pada sekularisme, selalu melahirkan kebijakan yang terpaku pada materi. Walhasil, pendidikan pun dikomersialisasi.
Penerapan kapitalisme pada dunia pendidikan yang menghilangkan peran negara sebagai penanggung jawab penuh dalam mengelola PTN, menunjukkan keburukan sistemik. Dalam naungannya pemerintah hanyalah sekadar regulator. Mereka membuat kebijakan agar konsep PTN-BH tetap berjalan namun tidak menyelesaikan masalah UKT yang sedang menimpa rakyatnya.
Putusan MK yang membuat pemerintah mengeluarkan PP No. 66/2010 yang mengembalikan status perguruan tinggi BHMN menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah di mana selang dua tahun setelahnya, pemerintah mengeluarkan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, jadilah PTN menjadi PTN-BH.
Miris. PTN dengan konsep tersebut tidak mendapatkan biaya pendidikan secara penuh dari pemerintah sebagaimana sebelumnya. Mereka harus mencari pembiayaan sendiri untuk operasional kampus. Wajarlah jika korporasi akhirnya merasuk untuk melakukan investasi di PTN sehingga saat ini kita bisa menemukan PTN yang punya usaha restoran, mal, penyewaan gedung, SPBU, dan lainnya.
Bukan hanya itu saja, pihak PTN juga menaikkan biaya kuliah mahasiswa agar biaya terpenuhi. Demikianlah UKT. UKT adalah konsekuensi logis dari penerapan status PTN-BH.
Inilah yang terjadi. Keburukan sistemik meniscayakan kapitalisasi pendidikan begitu nyata. Saat ini beberapa perguruan tinggi (PT) ternama di Indonesia kembali menetapkan kenaikan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Instruksi (IPI) yang memicu perdebatan. Mahasiswa di berbagai PT melakukan protes keras karena kebijakan tersebut dinilai sangat memberatkan.
Senyatanya memang kenaikan biaya kuliah bukan kali ini saja terjadi. Nyaris tiap tahun UKT naik dan kian memperburam potret pendidikan di negeri ini. Dampaknya, bukan hanya menambah berat beban ekonomi para mahasiswa dan calon mahasiswa yang mayoritas berasal dari masyarakat bawah, tetapi juga turut memperberat beban fisik dan mental mahasiswa yang sudah terforsir dengan beban kurikulum yang luar biasa. Anak negeri terus menjerit.