Oleh: Rifdah Reza Ramadhan, S.Sos
Pendidikan sebagai faktor terpenting bagi pencetak generasi unggul nyatanya sedang dalam kondisi yang memprihatinkan. Alih-alih mendapatkan kemudahan dalam meraih dan menjalankan, justru di Indonesia Uang Kuliah Tunggal (UKT) mengalami polemik kenaikan. Hal ini terjadi di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN), seperti di Universitas Sumatera Utara (USU) medan, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Negeri Riau (Unri), dan kampus lainnya.
Atas hal ini, pemerintah mengaku telah meluncurkan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Namun, bantuan ini belum bisa menutup semua kebutuhan operasional atau setara dengan biaya kuliah tunggal; (BKT). Dengan demikian, pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa digratiskan seperti beberapa negara lain. Tak hanya itu, pembiayaan pendidikan tinggi malah kemudian dibebankan kepada masing-masing mahasiswa lewat UKT. (CNN Indonesia, 18/05/2024).
Hal ini juga diperkuat dengan perkataan Tjitjik di Kantor kemendikbud, Rabu (16/05/2024), “Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya pilihan.” (CNBC Indonesia, 18/05/2024).
Di dalam sistem kapitalisme hari ini mengharuskan adanya syarat-syarat tertentu untuk mendapatkan keleluasaan dalam menempuh pendidikan. Banyak faktor yang saling terkait dalam persoalan ini mulai dari kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan perguruan tinggi yang membuat orientasi pendidikan tak lagi untuk mencerdaskan bangsa. Justru pendidikan hari ini cenderung berorientasi pada tuntutan dunia industri semata.
Jurnalis Joko Prasetyo pun mengatakan bahwa ini adalah konsekuensi ketika negeri berpendudukan mayoritas muslim ini keukeuh dengan penerapan yang di dalamnya malah melegalkan manusia membuat aturan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan merugikan rakyat.
Di sini yang semakin kukuh adalah kekuasaan korporasi dan justru hanya memperpanjang umur penjajahan kapitalisme di negeri ini. Negara dalam mengelola pendidikan seolah berlepas tangan dan memenej pendidikan layaknya bisnis dengan dalih profesional dan upaya pengoptimalan efektivitas.
Pendidikan bukan lagi menjadi fasilitas yang bisa dinikmati oleh seluruh rakyatnya. Saat ini pendidikan bagaikan transaksi antara pedagang dan pembeli. Kalaupun ada bantuan kepada rakyat, itu semua lebih banyak sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan pada akhirnya rakyat dibebankan dengan kebijakan yang jor-joran dan mencekik.