Oleh Tri Maya
Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) 2024/2025 di beberapa kampus perguruan tinggi mendapatkan penolakan keras dari berbagai pihak, terutama mahasiswa. Beberapa waktu belakangan, mahasiswa di berbagai daerah melakukan demo sebagai bentuk aksi protes atas kenaikan UKT yang dinilai sangat membebani.
Melihat gelombang penolakan tersebut, pemerintah akhirnya memutuskan untuk membatalkan kenaikan UKT. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makariem, setelah menindaklanjuti masukan masyarakat terkait implementasi UKT tahun ajaran 2024/2025 dan sejumlah koordinasi dengan perguruan tinggi negeri (PTN), termasuk PTN berbadan hukum (PTN-BH).
Melansir pendapat dari Pengamat Pendidikan Universitas Negeri Semarang (UNNES) Edi Subkhan mengatakan bahwa pembatalan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun ini hanya bersifat sementara. Ini hanyalah kebijakan populis yang dilakukan presiden Jokowi, agar diakhir masa jabatannya tidak terkesan mengeluarkan kebijakan yang tak pro rakyat.
Akar masalah kenaikan UKT
Masalah mendasar kenaikan UKT, kata, Edy, karena pemerintah menetapkan kebijakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Kampus yang berstatus PTN-BH dikurangi porsi pendanaan dari pemerintah. “Kebijakan PTN-BH yang menjadikan proporsi pendanaan pemerintah tidak bertambah bagi PTN-BH, dan bahkan cenderung berkurang,” kata Edi kepada Tempo, Rabu 29 Mei 2024. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam Permendikbudristek No. 2/2024 mengenai Standar Biaya Operasional Pendidikan pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di lingkungan Kemendikbud. Ketidakmampuan lembaga pendidikan tinggi menutup biaya operasional, akhirnya menjadikannya mencoba membuka kran melalui jalur “kantong mahasiswa”.
Di sisi lain, problem kenaikan UKT ini tak bs dilepaskan dari. keterlibatan Indonesia dalam kancah politik internasional. General Agreement on Trade in Services (GATS) dengan memasukkan pendidikan sebagai sektor jasa yang bisa diperdagangkan. Dan Indonesia telah meratifikasi GATS melalui berbagai regulasi hukum untuk melegalkan liberalisasi pendidikan. Pendidikan menjadi komoditas bisnis, pro pasar industri, dan mengebiri peran negara sebagai penanggung jawab pendidikan.