Opini

UKT dan IPI Melambung, Mahasiswa dan Ortu Bingung

193
×

UKT dan IPI Melambung, Mahasiswa dan Ortu Bingung

Sebarkan artikel ini

Terlebih, konsep triple helix (jalinan kerja sama antara pemerintah, industri, dan PT) kian dideraskan. Ini mengakibatkan, orientasi pendidikan bukan lagi pada terciptanya SDM yang berkualitas yang siap memimpin bangsa, melainkan lebih banyak memenuhi tuntutan dunia industri. Ini terlihat dari riset-riset yang terus berkembang yang pada akhirnya sekadar memenuhi kebutuhan industri.
Inilah konsekuensi diterapkannya sistem pendidikan kapitalistik, yaitu pendidikan yang berorientasi pada pasar dan visi pendidikan yang tidak jelas. Bahkan, pendidikan dijadikan komoditas yang bisa diperjualbelikan. Ijazah pun hanya menjadi selembar kertas untuk mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian. Makin tinggi sekolahnya, peluang mendapatkan kesempatan kerja akan kian besar.

Negara Lepas Tangan
Lepas tangannya pemerintah terhadap pendidikan ini menjadikan sistem pendidikan semakin tidak jelas. Alokasi APBN untuk pendidikan yang hanya 20%, tentu saja ini tidak sanggup untuk membiayai operasional pendidikan secara keseluruhan. Bukannya memberi subsidi, negara malah menyerahkan dana pendidikan pada masing-masing kampus atas nama otonomi kampus. Mengakibatkan, industri kian masuk pada kampus dan UKT semakin tinggi.

Alasan dikuranginya alokasi APBN untuk pendidikan adalah negara harus mengalihkan subsidi pada bidang lain agar subsidi bisa merata dan tepat sasaran. Hal ini karena keterbatasan APBN. Hal ini wajar jika negara selalu saja defisit sebab tata kelolanya yang kapitalistik, yang membolehkan siapa pun mengelola SDA, dalam hal ini swasta lokal, asing dan aseng. Padahal SDA merupakan sumber pemasukan negara yang melimpah, yang jika dikelola sendiri, kebutuhan hidup rakyatnya akan sangat bisa terpenuhi, termasuk kebutuhan akan pendidikannya.

Ini lebih dari sekadar sulitnya generasi kita mendapatkan pendidikan yang murah. Kapitalisasi pendidikan juga menjadikan pendidikan kian salah arah dan penjajahan kian masuk. Generasi dan peserta didik hanya diarahkan menjadi buruh murah bagi perusahaan raksasa milik para pemodal. Begitu pun yang bersekolah tinggi, cara pandang kapitalistik yang sukses dimasukkan, menjadikan mereka bungkam saat kekayaan negaranya dirampas oleh asing. Akhirnya, mereka sekadar mengabdikan ilmunya pada uang dan meraih kesenangan dunia.

Inilah gambaran buramnya SDM yang lahir dan besar dari sistem pendidikan kapitalisme. Kebanyakan mereka berujung menghamba pada uang, tidak peduli nasib sesamanya. Ini pula yang makin memperlihatkan buruknya tata kelola negara berlandaskan demokrasi kapitalisme, penguasanya lepas tangan terhadap nasib rakyatnya. Mereka tidak peduli terhadap rakyatnya yang dilanda kebodohan dan kemiskinan.

Tata Kelola Pendidikan Tinggi dalam Sistem Islam
Islam adalah agama yang sempurna karena mengatur seluruh kehidupan kita termasuk di dalamnya mengatur pendidikan. Dalam Islam, pendidikan merupakan kewajiban negara yang harus terpenuhi bagi setiap individu baik laki-laki dan perempuan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menyediakannya untuk seluruh warga dengan cuma-cuma. Dan kesempatan pendidikan tinggi secara cuma-cuma dibuka seluas mungkin dengan fasilitas terbaik.

Jika bisa sedikit digambarkan mengenai tata kelola pendidikan tinggi dalam sistem Islam adalah sebagai berikut: Pertama, pelayanan pendidikan steril dari unsur komersial. Negara wajib menjamin setiap individu warga negara untuk mendapatkan pendidikan gratis serta berkualitas. Ini karena Islam telah menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban setiap muslim yang pemenuhannya dilakukan oleh negara. Kedua, Pemimpin negara (Khalifah) bertanggung jawab penuh memberikan pelayanan dalam pendidikan. Negara tidak dibenarkan melakukan langkah politik yang mengakibatkan peran Khalifah tereduksi sebatas regulator belaka. Ketiga, strategi pelayanan mengacu pada tiga aspek, yakni kesederhanaan aturan, kecepatan memberikan pelayanan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan profesional. Jika demikian, orang tua dan mahasiswa tidak akan diberatkan dengan dengan beban biaya pendidikan setinggi langit. Ini karena Islam mengambil prinsip pelayanan tidak akan mengomersialisasikan pendidikan. Keempat, adanya anggaran negara untuk pendidikan. Khalifah memiliki anggaran yang memadai untuk pelayanan pendidikan gratis dan berkualitas bagi setiap warga negara. Jika kebutuhan masyarakat tidak dipenuhi, bisa mengakibatkan kemudaratan. Kelima, amanah dalam mengelola keuangan.

Islam melalui konsep ekonominya serta penerapan politik ekonomi Islam, mewajibkan negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pendidikan bagi rakyatnya. Syariat telah menetapkan bahwa sumber pemasukan negara terbagi menjadi tiga, yaitu dari fai dan kharaj, kepemilikan umum, serta zakat. Alokasi dana untuk layanan publik (termasuk pendidikan) bisa diambil dari pos kepemilikan umum. Negara wajib mencari sumber dana untuk membiayai pemenuhan kebutuhan pokok berupa pendidikan bagi rakyat dengan melakukan pengelolaan kepemilikan umum, yakni sumber daya air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, padang, hutan dan segala kekayaan di dalamnya, serta berbagai jenis tambang yang merupakan hak milik umat.

Negara juga dapat melakukan pengumpulan wakaf dari para aghniya (orang kaya), dari warga negara yang mengejar amal jariah, baik berupa aset riil semisal tanah dan bangunan, atau sarana prasarana pendidikan, juga bisa berupa biaya operasional pendidikan bagi rakyatnya yang akan mengantarkan pada generasi yang taat dan kuat.

Berbagai sumber pendanaan baitulmal negara inilah, yang akan mampu memberikan layanan pendidikan yang murah bahkan gratis bagi seluruh warga negara secara adil, tanpa memandang suku, agama, ras warganya, hingga terwujudnya Islam rahmatan lil ‘alamin. Sehingga pinjol yang beberapa waktu lalu sempat muncul sebagai solusi mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT tidak akan pernah terjadi. Karena itu bukan solusi tetapi malah akan menambah beban berat mahasiswa dan masyarakat, serta menerapkan sistem bunga yang hukumnya haram.

Kebijakan Pemimpin Negara (Khalifah)
Negara menjamin seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun infrastruktur dan sarana prasarana pendidikan. Sejarah Islam mencatat, para khalifah menyediakan pendidikan gratis bagi masyarakat. Dalam banyak sejarah disebutkan, para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan melengkapinya dengan perpustakaan. Bahkan, setiap perguruan tinggi dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Perguruan tinggi dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan. Sehingga pada masa keemasan Islam, Daulah Islam adalah pusat pendidikan dunia.

Namun, perlu diketahui, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya yang kaya untuk turut berperan dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak pula orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan sebagainya, terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf.
Hanya dalam sistem Negara Islam (Khilafah), masyarakat akan memperoleh pendidikan formal secara gratis dan berkualitas. Di sisi lain, para mahasiswa paham akan posisinya sebagai agen perubahan, membawa perubahan menuju Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *