Lisa Agustin
Pengamat Kebijakan Publik
Jakarta dan Ibu Kota Nusantara (IKN) diusulkan mengusung konsep Twin Cities, yang menjadikan keduanya sebagai ibu kota Indonesia. Usulan ini datang dari Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI).
Usulan Twin Cities yang datang dari ASPI ini tercipta karena ada dua faktor, yakni belum adanya kejelasan kabar mengenai keputusan presiden (Keppres) tentang pemindahan Ibu Kota Negara ke Nusantara dan terkait kecukupan anggaran pembangunan IKN saat ini. (detik.com, 14/10/2024)
Sejak awal, kebijakan pembangunan IKN tampak begitu dipaksakan. Gagasan pemindahan Ibu Kota Negara ini dimunculkan saat pemerintahan Presiden Jokowi pada tahun 2019. Kemudian pada awal tahun 2022 pembahasan RUU IKN dikebut, sampai akhirnya disahkan oleh DPR dan diteken oleh Presiden pada tanggal 15 Februari 2022.
Padahal banyak tokoh publik saat itu melakukan penolakan pembangunan IKN dan meminta Presiden Jokowi menghentikan megaproyek tersebut, lantaran ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja akibat pandemi virus corona. Namun tidak dihiraukan, proyek pembangunan terus berjalan. Ternyata benar saja, pembangunan IKN tanpa dukungan dana yang matang. Malah akhirnya dibebankan kepada APBN.
Pembangunan Pro Oligarki
Parahnya, megaproyek pembangunan IKN ini telah melahirkan Perpres 75/2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada 11 Juli 2024. Perpres tersebut mengatur rentang waktu Hak Guna Usaha (HGU) di IKN untuk para investor adalah sampai 95 tahun dan bisa diperpanjang sampai 95 tahun lagi. Total 190 tahun. Harapannya, aturan tersebut akan mengundang kehadiran investor di IKN. Sungguh berbahaya.
Lahirnya Keppres ini mirip pengelolaan lahan ala neokolonialisme. Artinya siapapun yang memiliki modal (oligarki/kapitalis) silahkan berinvestasi untuk membangun ibukota. Padahal mengharapkan pembangunan IKN dari investor itu sama saja memberikan jalan penjajahan kepada para oligarki.
Wacana Twin Cities terlihat manis namun terkesan menutupi semua problem kelemahan pemindahan IKN. Inilah solusi pragmatis khas ideologi kapitalis sekuler. Kebijakan yang lahir tidak berdasarkan pengurusan rakyat dengan benar. Akhirnya rakyat harus menanggung konsekuensinya.