Opini

TURUNKAN PENGANGGURAN DENGAN PROGAM “SIAP KERJA”?

101
×

TURUNKAN PENGANGGURAN DENGAN PROGAM “SIAP KERJA”?

Sebarkan artikel ini

Nurbayah Ummu Tsabitah, A.Md
(Pemerhati Sosial dan Generasi)

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Kartanegara (Kukar) semakin serius menangani masalah pengangguran dan kemiskinan melalui program strategis Kukar Siap Kerja. Program ini menargetkan untuk melatih dan memberikan sertifikasi keterampilan kepada 6.000 warga hingga tahun 2026, dengan tujuan meningkatkan daya saing tenaga kerja lokal di pasar kerja yang semakin kompetitif.
Kepala Bidang Pelatihan dan Produktivitas Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja (Distransnaker) Kukar, Lukman, mengungkapkan, program Kukar Siap Kerja disusun untuk menjawab kebutuhan industri akan tenaga kerja yang berkualitas.
Adapun bidang pelatihan yang digelar diantaranya di bidang keterampilan yang sangat diminati oleh industri, di antaranya pelatihan mekanik dasar, operator alat berat, welding, desain grafis, dan satpam Gada Pratama.
Jurus demi jurus dilakukan dalam rangka mengurangi angka pengangguran dikukar namun dari waktu kewaktu problem pengangguran belum dapat diatasi ini terlihat berdasarkan catatan yang diterbitkan Badan Pusat Statistik Kukar pada 2022 menguraikan terdapat 20.400 pengangguran di kabupaten ini. Jumlah tersebut merupakan 5,7 persen dari sekitar 729.000 penduduk Kukar. Sedangkan warga Kukar yang memiliki kartu pencari kerja jumlahnya mencapai 10.989 orang dan pada 2023, terdapat 10.300 pencari kerja di Kukar, bahkan di Kaltim per Agustus 2024 penduduk usia kerja naik menjadi 3.106.306 orang dengan TPT sebesar 5,14 persen
Hal tersebut terus terjadi disebabkan bahwa selama ini pemerintah lebih fokus pada aspek pasokan tenaga kerja, bukan pada menciptakan lapangan kerja. Bahkan, pendidikan vokasi yang digagas Kemendikbud dengan “mengawinkan” pendidikan dan industri belum bisa mengatasi angka pengangguran. Sebab, pengangguran meningkat karena makin sempitnya lapangan kerja. Padahal, menciptakan lapangan kerja adalah tugas negara, bukan tugas individu rakyat.
Dalam sistem kapitalisme, rakyat justru dituntut bekerja tanpa harus menggantungkan nasibnya pada negara. Kalaulah negara membantu, itu hanya sebatas bantuan minimalis. Program Kartu prakerja, misalnya, tidak memberikan dampak positif mengurangi tingkat pengangguran terbuka? Mungkin iya, tapi pembekalan skill maupun insentif yang diberikan kepada penerima kartu prakerja pun rasanya tak cukup mampu membuat mereka membuka usaha mandiri, terlebih terdapat banyak pula penerima bantuan insentif tersebut yang tidak tepat sasaran. Alhasil masyarakat masih tetap berada dalam kungkungan masalah ekonomi dan sulit mendapatkan kerja.
Kukar khususnya dan Kaltim umumnya adalah daerah kaya SDAE tetapi faktanya tidak berkorelasi pada kesejahteraan masyarakat terutama dalam hal penyerapan tenaga kerjanya. Hal ini diakibatkan adanya tata kelola kapitalisme sekuler yang memberikan hak pengelolaan nya kepada pihakindustri swasta yang nota bene tidak menghendaki tenaga kerja lokal yang dianggap kurang berkompeten. Kalaupun direkrut hanya mendapatkan posisi yang kurang strategis dan hanya berstatus buruh bagi para kapital.
Alhasil program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan program Kukar siap kerja merupakan program cuci dosa oleh pemerintah karena ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pengangguranMengentaskan kemiskinan dan pengangguran membutuhkan solusi sistemik bukan program parsial
Tingginya angka pengangguran disebabkan oleh 2 faktor. Pertama, faktor individual, yakni pengangguran bisa disebabkan oleh kemalasan individu dan cacat. Dalam sistem kapitalis hukum yang diterapkan adalah ‘hukum rimba’. Karena itu, tidak ada tempat bagi mereka yang cacat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak atau mereka yang pendidikan rendah dan keterampilan lemah.
Kedua, faktor sistem sosial dan ekonomi. Faktor ini merupakan penyebab utama meningkatnya pengangguran di Indonesia, di antaranya, ketimpangan antara penawaran tenaga kerja dan kebutuhan, kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, pengembangan sektor ekonomi non-real, serta banyaknya tenaga kerja wanita.
Hal demikian berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem negara Islam, kepala negara (khalifah) berkewajiban memberikan pekerjaan kepada mereka yang membutuhkan sebagai realisasi Politik Ekonomi Islam.
Pertama, pendidikan terjangkau, bahkan gratis untuk semua. Dengan begitu, rakyat dapat mengenyam pendidikan sesuai keinginan mereka tanpa terbebani dengan biaya pendidikan. Selain, itu mereka diberi pemahaman tentang wajibnya bekerja bagi laki-laki.
Kedua, jika individu malas bekerja, cacat, atau tidak memiliki keahlian, maka negara
berkewajiban memaksa mereka bekerja dengan menyediakan sarana dan prasarananya. Hal ini pernah dilakukan Khalifah Umar ra. ketika mendengar jawaban orang-orang yang berdiam dimasjid pada saat orang-orang sibuk bekerja bahwa mereka sedang bertawakal. Saat itu beliau berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari masjid dan memberi mereka setakar biji-bijian.
Lebih detail, Rasulullah saw. secara praktis senantiasa berupaya memberikan peluang kerja bagi rakyatnya. Suatu ketika Rasulullah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian beliau bersabda (yang artinya), “Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikanlah kapak, lalu gunakan kapak itu untuk bekerja!”
Ketiga, negara akan memberlakukan investasi halal untuk dikembangkan di sektor riil baik dibidang pertanian dan kehutanan, kelautan, dan tambang maupun meningkatkan volume perdagangan.
Keempat, negara mengembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin) sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri lain.
Kelima, kewajiban bekerja hanya dibebankan pada laki-laki. memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya yang menjadi tanggungannya. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr RA, dia berkata,”Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa jika dia menahan makan (nafkah berupa makan, pakaian, dan sebagainya) bagi orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim, no. 1662)‏.
Kaum perempuan tidak wajib bekerja. Fungsi utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengurus rumah suaminya (ummu warabatul bayt). Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki. Dengan kebijakan ini, lapangan pekerjaan sebagian besar akan diisi oleh laki-laki—kecuali sektor pekerjaan yang memang harus diisi oleh perempuan.
Demikianlah mekanisme sistem Islam dalam mengatasi angka pengangguran. Semua langkah tersebut tidak akan terwujud tanpa penegakan syariat Islam secara kaffah. Wallahua’lam bishshawab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *