Dalam menyalurkan aspirasi rakyat, Islam memiliki yang namanya Majelis Umat. Majelis ini terdiri dari para simpul umat yang kemudian menjadi representatif umat itu sendiri. Mereka memiliki tupoksi tugas untuk menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa atau penyimpangan pelaksanaan hukum-hukum Islam. Eksistensi Majelis Umat juga didasarkan pada dalil-dalil syariah yang mewajibkan kaum Muslim melakukan muhâsabah li al-hukkâm (mengoreksi kekuasaan).
Artinya secara syariat mengharuskan keanggotaan majelis umat berasal dari individu-individu yang bertakwa, sholih dan mukhlis. Serta adanya sebuah wadah pemerintahan yang menjadikan kecilnya angka penyelewengan.
Satu hal lagi yang harus kita ingat, anggota Majelis Umat bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Jika ada hal-hal yang perlu dianggarkan untuk menunjang kinerjanya, itu berupa santunan dalam jumlah yang secukupnya saja, tidak seperti tunjangan para anggota dewan yang jumlahnya fantastis. Demikian halnya jika ada dari mereka yang mendapatkan fasilitas dari negara, itu semata bagian dari pemberian negara yang berhak diperoleh tiap individu warga.
Jika kita mencermati gambaran para anggota Majelis Umat pada masa peradaban Islam, sungguh motivasi mereka untuk mewakili rakyat/warganya sangat jauh berbeda dengan para anggota dewan saat ini. Anggota Majelis Umat berperan mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena hal itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala. Mereka tidak memiliki motivasi aji mumpung untuk menikmati fasilitas negara, apalagi menuntut hak istimewa maupun memperkaya diri. Wallahu a’lam bish showab.