Oleh Resma A. Pratiwi
Pegiat Dakwah Literasi
Sedang tren sebagian pasangan milenial dan khusunya Gen Z, menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi pilihan yang menarik akhir-akhir ini. Pasalnya, para pasangan pengantin kini lebih memilih untuk melangsungkan pernikahan dengan cara yang praktis dan tidak memakan banyak biaya. Selain itu, prosesi yang lebih sederhana, tetapi tetap sah di mata agama dan hukum merupakan faktor penting dalam solusi ini.
Tren ini merebak sejak adanya pandemi Covid-19 terjadi di seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia yang terkena dampaknya. Pada saat itu, putusan untuk melakukan segala aktivitas secara terbatas dan dalam lingkup kecil mengharuskan pesta pernikahan dilangsungkan secara tertutup. Berdasarkan kondisi tersebut banyak pasangan yang melangsungkan pernikahan di Kantor Urusan Agama. Namun ternyata, setelah pandemi mereda pun masih banyak pasangan yang memilih untuk menikah di KUA.
Seperti yang dikutip dari media online jabar.kemenag.go.id (12/09/2024), Kepala KUA Kecamatan Baleendah, Rohmat, S.Ag menyatakan bahwa tren menikah di KUA telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Melihat makin banyak pasangan yang memilih untuk menikah di kantor KUA. Dalam sehari rata-rata ada lima pasangan yang menikah di kantor. Ini menunjukkan bahwa masyarakat makin memahami pentingnya pernikahan yang sah, sederhana, dan tidak membebani finansial.
Dari kutipan di atas kita bisa melihat bahwa kini pilihan menikah di KUA bukan hanya didasari oleh pembatasan fisik. Namun, karena adanya peluang untuk melangsungkan pernikahan secara sederhana dan biaya terjangkau bahkan gratis. Hal ini tetap sah secara hukum baik negara maupun agama. Ada sisi positif yang dapat kita ambil, yaitu berkurangnya mudharat yang seringkali ada di dalam upacara pernikahan di Indonesia yang dianggap kental dengan kebudayaan.
Tren pasangan nikah di KUA karena alasan murah, tapi ada hal yang menjadi titik kritis tentang pilihannya ini. Apakah para pasangan pengantin ini secara sengaja menghemat budget dengan menyederhanakan pernikahannya atau memang tidak memiliki biaya sama sekali? Ataukah mungkin memilih nikah di KUA dapat menjadi solusi! Apakah bisa menyeluruh?
Faktanya pilihan ini lebih didominasi oleh faktor ekonomi, yang artinya ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menaikkan taraf kesejahteraan masyarakat. Kejadian seperti ini menjadi bukti buruknya sistem kapitalis. Negara yang seharusnya memfasilitasi kebutuhan rakyatnya secara menyeluruh termasuk dalam urusan pernikahan, nyatanya abai.