Opini

Tinggalkan Demokrasi, Islam Kafah Solusi Negeri

844

Oleh :Hj.Padliyati Siregar,ST

Belum selesai persoalan Pemerintah mengeluarkan PP. 28/2024 yang menjadi payung hukum liberalisasi seks bebas dan Aborsi. Sekarang malah muncul aksi massa sebagi bentuk protes menolak pengesahan Rancangan Undang-undang

Kekisruhan ini berawal dari Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan gugatan mengenai batas minimal usia calon gubernur dan wakil gubernur 30 tahun. Dengan putusan itu, MA mengubah ketentuan dari yang semula cagub dan cawagub minimal berusia 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan calon.

Sementara itu, MK menolak gugatan pengubahan penentuan syarat usia minimum dalam UU Pilkada. Ketetapan itu tertuang dalam putusan nomor 70/PUU-XXII/2024. Dengan begitu, MK ingin usia calon gubernur dan calon wakil gubernur minimal 30 tahun terhitung saat penetapan calon kepala daerah.

Melihat keputusan itu, DPR RI melalui Baleg (badan legislasi) kemudian membuat manuver yang berupaya menganulir putusan MK. Baleg DPR menggelar pembahasan Revisi UU Pilkada, dengan dua poin revisi dan tidak merujuk pada putusan MK. Terkait ambang batas, DPR sepakat partai yang punya kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20% kursi DPRD atau 25% suara pemilu sebelumnya.

Namun sejatinya, putusan MK telah menggugurkan syarat tersebut. Adapun mengenai batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di pasal 7, Baleg memilih mengadopsi putusan MA, bukan putusan MK.

Kuat dugaan bahwa upaya ini berkaitan dengan majunya salah seorang calon untuk menjadi gubernur pada Pilkada 2024. Inilah yang kemudian menuai protes masyarakat. Reaksi publik tentu sangat beralasan. Pasalnya, semua ini telah secara vulgar mempertontonkan dinasti politik yang didukung kroni-kroninya. Untuk melancarkan tujuan politiknya, pemerintah tidak segan menabrak peraturan, bahkan menjegal parpol dan lawan politiknya.

Gelombang protes pun meluas hingga muncul tagar #KawalPutusanMK dan unggahan foto siaran “peringatan darurat” berlatar warna biru. Aksi demonstrasi pun terjadi di berbagai wilayah. Meski DPR pada akhirnya membatalkan sidang karena tidak memenuhi kuorum, tetapi dagelan DPR menunjukkan keberpihakannya pada rezim yang sedang berjalan.

Dengan segala kekacauan sistem hari ini, para politisi masih menganggapnya sebagai dinamika politik dalam berdemokrasi. Mereka terkesan tidak acuh dan memandang ini sebagai perkara biasa kendati kecurangan terjadi di depan mata. Bahkan, instrumen demokrasi berupa lembaga legislatif (DPR) dan yudikatif pun bekerja untuk melegitimasi

Ini membuktikan Praktik seperti ini sudah lazim dalam sistem demokrasi, bukan hanya saat hiruk pikuk pembangkangan DPR terhadap putusan MK. Dulu, saat DPR membangkang putusan MK terkait UU cipta kerja, modusnya juga sama.
Artinya, demokrasi memang rusak. Umat butuh alternatif sistem, dan sistem itu adalah Khilafah.

Kebohongan Demokrasi

Bukankah demokrasi itu pemerintahan rakyat sehingga apa pun keinginan rakyat, termasuk keinginan menerapkan syariat Islam, pasti bisa diwujudkan? Kita sering mendengar slogan indah demokrasi. Slogan yang hanya indah dalam pernyataan dan tulisan, tetapi menjadi ilusi karena tidak pernah hadir dalam kenyataan.

Slogan tersebut dipropagandakan secara masif kepada publik dengan harapan agar masyarakat mau menerima dan meyakini demokrasi sebagai sistem politik yang layak, bahkan harus diterapkan.

Di antara slogan palsu demokrasi adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Slogan tersebut merupakan manifestasi dari inti sari demokrasi, yakni kedaulatan rakyat.

Melalui slogan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, para propagandis demokrasi terus meyakinkan publik bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik yang akan mampu mewujudkan harapan-harapan masyarakat. Mereka berdalih, kedaulatan rakyat artinya memberikan kuasa kepada rakyat untuk merumuskan hukum dan perundangan sehingga hukum yang dibuat pasti sesuai dengan harapan masyarakat.

Exit mobile version