Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Direktur Utama Perum Perumnas, Budi Saddewa Soediro, menyampaikan bahwa perusahaan siap mendukung program pembangunan 3 juta rumah yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto dengan memanfaatkan aset yang dimiliki pemerintah. Sebagai pengembang milik pemerintah, Perumnas memiliki tanggung jawab untuk mengelola asetnya secara optimal demi mendukung realisasi program tersebut (tempo.co, 01-12-2024).
Sebelumnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, mengungkapkan berbagai langkah strategis yang diambil untuk merealisasikan program tiga juta rumah per tahun. Salah satu upaya yang dilakukan adalah pemanfaatan tanah sitaan dari kasus korupsi untuk dialihfungsikan sebagai lahan perumahan rakyat. Selain itu, lahan atau aset hasil Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga akan digunakan untuk mendukung program ini. Di samping itu, tanah milik pemerintah daerah yang tidak terpakai, lahan idle, serta eks-Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dikelola oleh Kementerian ATR/BPN.
Program tiga juta rumah per tahun ini merupakan salah satu agenda prioritas pemerintah untuk menyediakan hunian layak bagi masyarakat, khususnya kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Penyediaan rumah tersebut mencakup berbagai skema pembiayaan, termasuk opsi gratis untuk kategori tertentu. Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menyampaikan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri dirancang untuk mempercepat implementasi Program Tiga Juta Rumah per tahun, yang bertujuan mendorong aktivitas di sektor properti dan jasa konstruksi. Program ini diklaim akan menjadi penggerak utama dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus mendukung sekitar 150 industri, mulai dari material konstruksi seperti pasir, genteng, batu, dan semen hingga perlengkapan rumah tangga, yang menunjukkan panjangnya rantai pasok sektor ini.
Program ini pun juga sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi yang Prabowo canangkan yakni mencapai lebih dari 5%, dengan ambisi hingga 8%. Salah satu kontributor penting dalam upaya ini adalah sektor jasa konstruksi, yang memberikan kontribusi sekitar 10-12% terhadap total pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaannya, apakah program ini bisa sesuai harapan rakyat? Ataukah hanya sebatas impian yang jauh dari kenyataan? Rakyat tetap merana tanpa atap jauh dari sejahtera.
Butuh Peran Negara
Rumah adalah harapan semua orang. Sayangnya problem pertanahan dan perumahan serta menurunnya daya beli di tengah kondisi ekonomi yang karut-marut, telah menyekat harapan menjadi hanya sekadar impian. Rakyat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mendapatkannya apalagi wilayah perkotaan, di mana harga tanah dan perumahan berbanding lurus dengan hitung-hitungan ekonomis seperti jarak tempuh, wilayah strategis, dan lainnya. Walhasil, harapan memiliki rumah pun kian pupus.
Sebagai kebutuhan asasi siapa pun akan berupaya memperoleh tempat tinggal. Hanya saja hadirnya para pebisnis properti yang menawarkan hunian bagi masyarakat sesuai daya beli tetap tidak mampu menjawab terkait pemenuhannya. Daya beli telah menyeleksi masyarakat, sehingga pemenuhan layanan hunian terbatas pada yang mampu beli.
Sesungguhnya negara paham mekanisme bisnis yang menggiurkan di sektor ini. Hanya saja, hukum rimba dalam sistem kapitalisme yang memihak para pemodal membuat semua terlihat baik-baik saja. Begitu pula saat problem pertanahan kian rumit seperti klaim hak milik tanah bermodal sertifikasi, pemindahan lahan masyarakat akibat pembangunan dan masalah sejenis yang melengkapi benang kusut masalah agraria di negeri ini.
Meski pemerintah kerap menyampaikan akan mengusut problematik harga tanah dan perumahan yang tinggi, nyatanya bisnis kebutuhan dasar—salah satunya tempat tinggal—telah berdampak langsung pada sulitnya memperoleh hunian yang layak. Terlebih, pemerintah sendiri pun banyak mengeluarkan ijin pembangunan gedung maupun hunian khas real estate nan prestisius. Sehingga jika pemerintah hari ini berniat untuk mengusut kasus mahalnya tanah dan properti, tentu sudah jelas faktor penyebabnya. Ini semua tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang memberikan hak kepada pemodal untuk menyediakan komoditas berupa kebutuhan dasar bagi masyarakat dalam kerangka bisnis. Pemerintah merestui itu bahkan menyebut bahwa memberi peluang kepada pebisnis adalah bagian dari peran negara.
Saat ini rakyat berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, mereka bahkan mengeluarkan sejumlah biaya yang mereka bayarkan kepada para pebisnis perumahan yang dalam proyek pengadaan rumah layak huni ini pun justru menampakkan keberpihakan pemerintah dalam menggerakkan sektor industri properti dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menyebut bahwa kontributor penting dalam program ini adalah sektor jasa konstruksi, dengan kontribusi sekitar 10-12% terhadap total pertumbuhan ekonomi. Jelas bahwa yang diuntungkan dalam proyek ini adalah para pebisnis.
Jika diperhatikan pengadaan hunian layak untuk MBR hanya 20% dari tiga juta rumah yang pemerintah programkan. Padahal menurut data terdapat hampir 11 juta keluarga yang belum mendapat rumah layak dan sebanyak 27 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni. Sungguh jauh dari jumlah rumah yang pemerintah rencanakan. Peran negara dalam urusan hunian untuk rakyat ini memunculkan keraguan. Bisnis properti yang menggurita sejatinya bukti bahwa negara lepas tangan dalam menjamin hunian layak bagi rakyat. Negara hanya memosisikan diri sebagai regulator yang bertugas memuluskan pihak swasta untuk mengendalikan pembangunan perumahan rakyat. Kapitalisasi sektor properti/hunian terjadi karena adanya pemindahan wewenang negara dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Tujuannya tentu untuk meraih profit.