Opini

TBC Meresahkan Dalam Balutan Sekuler Kapitalisme

95
×

TBC Meresahkan Dalam Balutan Sekuler Kapitalisme

Sebarkan artikel ini

Oleh: Novita Ratnasari, S. Ak., Penulis Ideologis, Pengiat Literasi

Warga Jawa Barat digemparkan oleh satu keluarga yang terindikasi TBC atau tuberkulosis paru. Ironis, terjadi peningkatan signifikan setiap tahunnya, mencapai sekitar 5.000 orang terpapar TBC di Kota Subang, Jawa Barat. (Tribun.jabar, 8/9/24)

Duka bersama, TBC menggurita, pengobatan sudah diterima, namun nasib buruh pabrik putus kerja…

Realitas yang bisa kita indra seksama, adanya lonjakan TBC selaras dengan maraknya pemberhentian tenaga kerja, berhubung mayoritas pengidap TBC adalah laki-laki.

Memang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 13 tahun 2022 perihal Penanggulangan TBC di tempat kerja. Artinya pekerja atau karyawan dengan diagnosis TBC berhak mendapatkan perawatan sampai dinyatakan sembuh, sehingga selama masa pengobatan karyawan tetap mendapatkan haknya (upah) sesuai prosedur, dan diperbolehkan kerja kembali ketika sudah dinyatakan sembuh.

Ironisnya, perlu diingat bahwasanya pemerintah telah merevisi sebagian UU Nomor 13 Tahun 2003 perihal Ketenagakerjaan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 perihal Cipta Kerja atau Omnibus Law. Salah satu ketentuan yang berubah, yaitu menyoal outsourcing atau alih daya. Esensi outsourcing dalam UU Cipta Kerja sesuai PP Nomor 35 tahun 2021. Artinya, menyangkut perjanjian kontrak kerja hingga pemutusan hubungan kerja melalui pihak ketiga (yayasan). Mekanismenya karyawan melakukan kontrak kerja dan keseluruhannya melalui yayasan bukan perusahaan secara langsung.

Perlu digarisbahawi, kontrak yayasan dan perusahaan (industri) berbeda. Misalnya, karyawan outsourcing terpapar TBC. Selama kontrak kerja berjalan, memang akan mendapatkan upah dari perusahaan melalui yayasan, namun ketika kontrak kerja selesai, pengobatan belom selesai, artinya tidak ada alasan untuk pihak yayasan memperpanjang kontrak kerja. Muncullah problema baru, mau kerja apa? Pemasukan dari mana? Mau makan apa?

Meskipun dalam faktor pengobatan sebenarnya gratis, berkaitan dengan Permenkes Nomor 67 Tahun 2016 Perihal Penanggulangan TBC dalam pasal 20. Bahwasanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin ketersediaan anggaran penanggulangan TBC, serta disediakannya OAT oleh pemerintah.

Realitasnya, berdasarkan riset, melansir dari akun resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis Global TBC di Indonesia menempati peringkat kedua di dunia setelah India, dari tahun 2023 sampai sekarang. (Tb.indonesia, 24/03/24)

Data yang ada menunjukkan bahwasanya tidak ada korelasi antara pengobatan gratis dengan kesejahteraan rakyat. Sejatinya fenomena seperti ini menunjukkan problema sistemik. Impect yang dihasilkan dari TBC bukan hanya menyangkut memutus rantai penularan, namun dunia pekerjaan, penghidupan yang layak, sistem pelayanan kesehatan, bahkan menyangkut nyawa manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *