Oleh: Hildayanti
Tawuran, suatu fenomena remaja yang masih meresahkan masyarakat sampai sekarang. Setiap tahun, bukannya mereda, justru makin parah kondisinya. Ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, tawuran sengaja dijadikan siaran langsung di Instagram oleh kelompok remaja sendiri. Mereka sengaja memviralkan video temannya yang sedang tawuran untuk mendapatkan uang dari media sosial.
Salah satu kasus yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia dilansir dari Detik News, dari Jakarta – Aksi tawuran lagi-lagi pecah di Jalan Basuki Rahmat (Bassura), Cipinang Besar Utara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Dugaan sengaja buat mencari cuan melalui medsos pun muncul dibalik terjadinya aksi tawuran.
Tawuran masa kini dilakukan dengan cara kekinian, bahkan untuk mendapatkan cuan. Hal ini menunjukkan rusaknya generasi dan menunjukkan betapa kebahagiaan yang hanya berdasar materi telah menghujam kuat dalam diri masyarakat. Kebahagiaan ini diraih dengan menghalalkan segala cara. Di sisi lain, menggambarkan betapa gagalnya sistem pendidikan mencetak generasi berkualitas. Generasi muda yang dihasilkan adalah generasi sekuler.
Selain dijadikan konten, para remaja yang ikut tawuran pun makin banyak yang mengonsumsi minuman keras dan narkoba agar saat menjalani aksinya mereka seperti tidak memiliki rasa takut. Di samping itu, senjata tajam seperti parang, celurit, belati hingga golok banyak ditemukan di tempat kejadian.
Lantas, mengapa angka tawuran makin naik? Apa yang menyebabkan anak-anak remaja makin tidak takut melakukan kekerasan dan kejahatan? Apa yang salah dan bagaimana agar remaja kembali menjadi generasi yang diharapkan bangsa?
Sekularisme, sebuah paham yang berasal dari negara barat telah mempengaruhi pemikiran gen Z di negara kita. Paham ini menyatakan bahwa agama tidak boleh ikut campur dalam mengatur kehidupan masyarakat. Agama hanya untuk mengatur ibadah ritual saja.
Jadilah masyarakat menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, termasuk para remaja. Tawuran yang seharusnya dihilangkan, malah diviralkan di media sosial. Hal ini disebabkan karena standar kebahagiaan bagi mereka ada materi atau cuan.
Sistem pendidikan yang asasnya hanya berdasarkan manfaat saja tidak akan pernah mampu untuk melahirkan anak yang berkualitas kepribadiannya. Padahal esensi dari pendidikan adalah membentuk karakter anak. Terbukti, sistem sekularisme kapitalis menciptakan generasi yang memahami bahwa uang adalah segalanya dalam hidup. Mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kenikmatan sesaat. Kebebasan berperilaku ini sangat jauh dari kharakter anak yang berkualitas.
Lebih lanjut, sekularisme melahirkan liberalisme. Paham ini menjadikan manusia bebas melakukan segala sesuatu yang ia senangi hingga puas. Ia tidak peduli andai perbuatannya menzalimi orang karena yang ia pikirkan hanyalah kesenangannya sendiri. Dengan begitu, mereka tidak merasa takut memukul bahkan menusuk temannya yang ia anggap musuh tawurannya. Mereka pun tidak takut untuk meminum minuman keras dan narkoba, padahal telah jelas keharamannya.
Pendidikan Sekuler
—