Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Syahdan di negeri Konoha tawuran seakan menjadi bewara yang biasa. Saking seringnya pemberitaan, tawuran membuat tangan tak henti mengelus dada.
Berita tentang empat pelajar tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat di Kulon Progo yang diciduk polisi karena diduga terlibat tawuran. Dan akhirnya diamankan ke Polsek Wates (detik.com, 30-09-2024). Juga berita adanya sekelompok remaja yang hendak melakukan tawuran perang sarung di Banjarmasin yang berhasil digagalkan Kepolisian Sektor (Polsek) Banjarmasin Tengah pada Sabtu (28/9) malam (beritasatu.com, 30-09-2024). Serta tertangkapnya 13 remaja yang hendak tawuran di daerah Grogol, Centkareng (tribratanews.metro.polri.go.id, 30-09-2024) menambah panjang catatan kelam yang mengisi buku perjalanan generasi.
Potrem Buram Generasi
Di Konoha, tawuran berulang kali terjadi. Tentunya fenomena tersebut bukanlah peristiwa kebetulan. Ada proses yang salah dalam membangun karakter generasi.
Jika catatan KPAI terisi kasus kekerasan melibatkan peserta didik dan pendidik dan kasus terbanyak adalah tawuran antarpelajar, maka kesalahan bukan lagi antarindividu. Kesalahan sudah bersifat sistemis.
Sekalipun dua aturan yang memberi panduan pencegahan dan penanganan tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan, yaitu Permendikbud 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan; serta Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, diluncurkan di negeri ini, ternyata keduanya belum mampu mengatasi kenakalan remaja di bumi pertiwi.
“Suka-suka gua” menuntun kebrutalan mereka hingga tega membuat orang lain terluka bahkan meregang nyawa. Syahwat kebebasan merasuk dalam pemikiran, perasaan, dan tingkah laku sehingga mereka bablas melakukan apa saja. “Nikmatin hidup lo” menjadi slogan pelancar jiwa muda mereka. Hidup mati tak lagi menghalangi aksi-aksi.
Bagai seorang jagoan, mereka sangar membabi buta. Hal sepele menjadi melebar sampai berkilah “Hidup lo kelar” untuk siapa-siapa yang dianggap musuh baginya, menghalangi keinginannya, menghambat tujuannya.
Buku putih generasi terpenuhi coretan hitam tak berarti. Pemahaman hidup dan mati tak dijadikan renungan sebagai bentuk pertanggungjawaban pada Ilahi’ Rabbul Izzati Pemilik Bumi. Potret mereka terlalu buram. Hidup mereka kian suram dengan polah mereka yang kian gahar.
Sesungguhnya, apa yang terjadi pada generasi saat ini? Mengapa dari tahun ke tahun kekerasan yang melibatkan generasi muda selalu saja terjadi?
Sekularisme Biang Keladi, Kapitalisme Penyebab Pasti
Jika kita perhatikan, begitu banyaknya kasus tawuran bukan semata karena sifat mendasar pemuda yang kasar, bengis dan gahar. Nyatanya, sekejam-kejamnya mereka ketika menebaskan berbagai senjata untuk menghadapi siapa yang dianggap lawannya, saat polisi menangkapnya, teriakan “Ampun” dan tersedunya tangisan mereka saat dipertemukan dengan orang tuanya, menunjukkan betapa mereka begitu lemah. Ternyata sifat kekanak-kanakan begitu kontras dengan keganasan mereka ketika berada di jalanan, atau saat mereka tawuran.
Bisa jadi mereka hanya sekadar ikut-ikutan dan ingin eksis lantas narsis dengan melakukan hal yang membahayakan nyawanya dan nyawa orang lain. Perbuatan dosa atas terluka dan hilangnya nyawa seakan menjadi Hal biasa. Tahu atau tidak atas dosa, mereka melukai orang lain, bahkan sampai membunuh mereka lakukan seakan tiada pertanggungjawaban yang harus mereka hadapi. Baik di hadapan manusia, maupun, terutama, di hadapan Allah Ta’ala.
Semua itu berpangkal dari sekularisme yang telah mengakar di negeri ini. Sekularisme meracuni para pemuda, sampai visi hidup mulia di dunia dan akhirat tiada dslam dirinya. Konsep pahala-dosa tidak mendarah daging dalam aliean darah mereka, tidak mengakar dalam benaknya sehingga tingkah laku urakan terus menghiasi hidup mereka.
Sekularisme liberal telah menuntun hidup generasi. Penerapan sistem kapitalisme dalam kehidupan masyarakat dan negara telah menjadikan pendidikan untuk generasi hanya berfokus pada pencapaian nilai-nilai akademik di atas kertas, namun abai pada pembinaan dan pembangunan generasi yang berkarakter mulia, kepribadian agung cemerlang. Bagaimana tidak, dalam pendidikan di negeri ini pelajaran agama pun sudah tak diporsikan maksimal lagi. Padahal agama adalah pondasi mendasar yang bisa menyelamatkan dunia-akhirat.
Ditambah lagi terkait kesuksesan. Saat ini Konsep kesuksesan makin dijauhkan dari Islam. Saat ini meraih banyak cuan menjadi incaran. Menjadi kaya tanpa butuh waktu lama, tanpa upaya keras, happy dan suka-suka, menjadi tujuan anak muda hingga apa pun dilakukan demi cuan tanpa melihat lagi benar-salah, dosa-tidak dosa, berbahaya atau tida. Mereka sibuk ,membuat berbagai konten, menjadi pemain gim, menjadi artis medsos, dll. Mereka menganggap semua itu lebih menjanjikan kesuksesan daripada bersekolah yang belum tentu memberikan keberuntungan materi untuknya.
Sungguh menyedihkan, paham sekuler telah sukses menjadikan generasi tidak memahami agamanya. Seluruh perbuatannya bersandar pada akal semata. Asas manfaat juga menjadi tolok ukur perbuatan dan materi menjadi standar kebahagiaannya. Inilah yang menjadikan kehidupan generasi Kian rusak.
Konten tawuran dianggap sebagai sesuatu yang sah-sah saja dalam sistem kehidupan sekuler. Para pelaku tidak peduli andai kontennya mencelakai orang atau dirinya sendiri. Selama kepuasan didapat, puas atas kenakalan yang dibuatnya itulah yang menjadi sumber kebahagiaan mereka.
Sayangnya, terkadang alih-alih melaporkan ke pihak yang berwenang untuk mencegah tawuran, yang lainnya malah menikmati adegan tawuran, bahkan memviralkan sebagai bahan konten bercuan. Miris. Sebegitu rusaknya nurani para remaja hari ini. Mereka tak merasa iba saat banyak yang terluka bahkan meregang nyawa.