Penulis: Isheriwati, SPdi
“Apa-apa naik. Apa, sih, yang enggak naik?” Ungkapan ini sudah sering kita dengar di masyarakat. Faktanya memang demikian. Saat ini mayoritas harga kebutuhan pokok meroket. Kini, pajak pertambahan nilai (PPN) ikut-ikutan akan naik.
Pemerintah akan menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 2025, dari yang saat ini sebesar 11%. Kenaikan PPN telah ditetapkan pada UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). (Antara, 19-3-2024).
Menkeu Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kenaikan tersebut sudah disepakati oleh pemerintah dan DPR pada 2021, tetapi masih ada potensi untuk diubah. Pasal 7 UU HPP menyebutkan bahwa kenaikan PPN menjadi 11% berlaku mulai 1 April 2022. Selanjutnya, kenaikan akan kembali terjadi pada 1 Januari 2025 menjadi 12%.
Sri Mulyani mengatakan, “PPN 12% sudah dibahas, ini juga termasuk fatsun politik UU HPP yang kita semua bahas sudah setuju, namun kita hormati pemerintah baru.”
*Harga Naik, Daya Beli Turun*
Kenaikan tarif PPN dipastikan akan menaikkan harga produk akhir barang-barang yang dibeli masyarakat. Dengan demikian, angka inflasi akan naik. Wakil Menkeu periode 2010-2014 Anny Ratnawati mengungkapkan, ketika harga mengalami kenaikan otomatis akan membuat permintaan turun dan akhirnya mengganggu penjualan dari sektor industri atau bisnis.
Anny mengatakan, “Dalam teori umum, kalau harga naik itu pasti demand turun, artinya itu nanti akan punya implikasi balik ke pengusaha.” (CNBC Indonesia, 20-3-2024).
Tidak hanya menekan daya beli masyarakat karena harga-harga barang yang naik, kenaikan tarif PPN juga akan menurunkan aktivitas bisnis di dalam negeri karena penjualannya menjadi makin lesu.
Adapun sektor industri yang diprediksi akan paling tertekan adalah UMKM, terutama garmen, tekstil, dan alas kaki.
Sektor garmen atau tekstil diperkirakan menjadi yang paling tertekan karena dari sisi ekspor tengah tertekan dan di dalam negeri tengah menghadapi persaingan dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah.
*Ramai-Ramai Turun Kelas*
Masyarakat kelas bawah tentu terpukul jika kenaikan tarif PPN diberlakukan. Sebagian dari mereka ada yang mendapat bantuan sosial (bansos), baik berupa sembako maupun uang tunai sehingga bisa menjadi bantalan sosial agar tidak terlalu terpukul secara ekonomi.
Sayangnya, efektivitas mekanisme bansos masih dipertanyakan.
Salah satunya adalah terkait semrawutnya distribusi bansos. Akibat kesemrawutan ini, ada orang kaya yang mendapatkan bansos, sedangkan banyak rakyat miskin yang tidak mendapatkannya.
Sementara itu, “pukulan” kenaikan PPN diperkirakan paling keras akan menimpa warga kelas menengah yang memiliki pendapatan Rp 4-5 juta per bulan.
Mereka akan menahan konsumsi karena tidak memiliki ketahanan yang cukup untuk menghadapi inflasi. Dampaknya, warga kelas menengah akan beramai-ramai turun menjadi kelas bawah. Artinya, jumlah penduduk miskin akan melonjak karena muncul orang miskin baru.
Dengan kenaikan harga barang sebagai konsekuensi kenaikan PPN, rakyat akan makin jauh dari kata sejahtera.