Oleh: Azrina Fauziah S.Pt
(Aktivis Dakwah)
Tapera menjadi pembicaraan hangat belakangan ini bahkan trending topic di social media seperti Twitter. Kontroversi ini muncul setelah Presiden Joko Widodo resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Dimana PP tersebut mewajibkan perusahaan memotong gaji pegawai dengan besaran yang telah ditentukan pemerintah, yakni sebesar 3 persen dengan rinciannya 2,5 persen ditanggung pekerja dan 0,5 persen dibebankan ke perusahaan pemberi kerja.
Kebijakan Tapera oleh pemerintah ini mengundang penolakan keras dari pengusaha dan pekerja. Dikutip dari kompas.com, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menyatakan bahwa masa buruh akan menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di depan Istana Negara Jakarta, pada hari Kamis (6/6/2024). Said mengungkapkan bahwa kebijakan Tapera ini merugikan dan membebani pekerja sehingga harus ditolak. Selain itu masa juga menyerukan penolakan beberapa isu terkini seperti kenaikan UKT, kebijakan rawat inap standar (KRIS) BPJS Kesehatan, UU Cipta Kerja, Hapus Outsourching dan Tolak Upah Murah.
Kritik Untuk Kebijakan Tapera
Pemerintah menggadang-gadang akan mampu memberikan jaminan pembiayaan rumah bagi para pekerja melalui Kebijakan Tapera yang berbasis gotong royong. Namun benarkah demikian? Bila dicermati sebelum kebijakan Tapera terbit, para pekerja telah dibebani pemotongan gaji dimulai dari PPh Pasal 21, BJPS Kesehatan dan BP Jamsostek. Artinya ketika kebijakan Tapera dimasukkan tentu menambah beban bagi para pekerja, sudah gaji sebatas UMR dipotong pajak berkali-kali pula.
Lucunya lagi, tapera yang harusnya berbentuk iuran suka rela justru sifatnya diwajibakan oleh pemerintah. Jika pekerja maupun perusahaan tidak mendaftarkan kepesertaannya akan ada sanksi yang menanti. Sanksi tersebut bisa berupa peringatan tertulis, saksi denda administratif, mempublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja, pembekuan izin usaha sampai pencabutan izin usaha.
Secara realistis, hitungan matematis 3 persen tidak akan mencukupi pekerja untuk dapat membeli rumah. Presiden Partai Buruh, Said Iqbal merincikan hitungannya yakni apabila upah buruh Indonesia rata-rata 3,5 juta per bulan. Kemudian dipotong 3 persen per bulan, maka iuran sekitar Rp105.000 atau Rp1.260.000 per tahun. Saat jangka waktu tabungan telah mencapai 10 tahun sampai 20 tahun hanya terkumpul Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000. Kemudian akan muncul pertanyaan, apakah kita bisa membeli rumah dengan harga 12 juta atau 25 juta dengan inflasi yang terus terjadi tiap tahun? Tentu saja mustahil, alih-alih memiliki rumah buruh makin terbebani dengan iuran yang dipaksakan tersebut (sindonews.com, 29/5/24).
Selain itu, mekanisme Taspen masih sangat kabur tak ada jaminan bagi pekerja untuk mendapatkan rumah dari pemotongan gaji tiap bulan. Pemerintah hanya bertugas mengumulkan gaji pekerja tiap bulan dengan rentang waktu yang panjang. Akhirnya muncul banyak pertanyaan bagaimana dengan pekerja yang telah memiliki rumah dan sudah melakukan kredit rumah? Bukankah semestinya mereka tidak perlu ikut tapera? Secara administratif, Tapera ini tidak jelas pengadaannya dan rumit dalam pencairan dana.