Oleh Maya Herlinawati
Pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait iuran Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 yang berlaku untuk seluruh pekerja di BUMN, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan perusahaan swasta, bahkan pemerintah juga sedang mengkaji kemungkinan memberlakukan pungutan ini untuk para driver ojek online.
Kebijakan Tapera sontak mendapatkan kritik dan penolakan dari masyarakat, para pekerja dan buruh.
Pungutan sebesar 3% dinilai akan menjadi beban tambahan bagi pekerja dan pengusaha. Pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5% dan 0,5% bagi perusahaan guna membantu pembiayaan pembelian rumah.
Beban hidup rakyat di sistem kapitalisme makin berat. Para pekerja sudah dihadapkan pada berbagai pungutan, antara lain Pajak Penghasilan (PPH), pungutan BPJS ketenagakerjaan, Pajak pertambahan Nilai (PPN) yang sudah naik menjadi 11% dan akan naik kembali menjadi 12% pada awal 2025.
Kini ditambah lagi dengan pungutan Tapera yang sifatnya wajib berarti yang menolak akan dikenakan sanksi administratif, denda, hingga pencabutan izin usaha bagi perusahaan.
Tapera dibebankan kepada semua rakyat, baik yang sudah punya rumah maupun yang belum, dengan potongan gaji sebesar 3%. Adapun terhadap yang sudah punya rumah, maka Tapera menjadi bentuk tabungan yang dipaksakan karena tidak akan menerima manfaat sama sekali. Sementara bagi yang belum punya rumah, nyaris mustahil bisa punya rumah lewat Tapera ini. Karena harga rumah dan tabungannya di Tapera tidak sebanding. Dengan syarat yang sulit, dipastikan sebagian kecil yang akan mendapatkan fasilitas kredit dari Tapera, apalagi harga properti yang terus naik.
*Solusi Islam*
Sistem Islam dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan perumahan.