Oleh. Melyanti
Baru-Baru ini ratusan buruh yang tergabung dalam DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) beserta Pengurus PD Federasi Serikat Pekerja Anggota SPSI Se-Sumsel, melakukan aksi demo di kantor DPRD Sumsel, Kamis (27/6/2024).
Dalam aksinya para buruh tersebut yang diketuai oleh Zainal Arifin Hulap menyampaikan tuntutannya, diantaranya yang pertama menolak dan mencabut PP No. 21 Tahun 2024 Tentang TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat).
Kedua, menolak dan mencabut UU No. 06 Tahun 2023 tentang cipta kerja. Menolak upah murah dan outsourcing.(tribunnews, 27/6/2024).
Sebenarnya Tapera ini telah diterapkan pada 2021 lalu yang dimana hanya berlaku untuk pekerja PNS, Polri dan TNI, kemudian kepesertaan Tapera ini meluas hingga pegawai BUMN dan BUMD.
Sedangkan untuk karyawan swasta dan formal diberi waktu tenggat selama tujuh tahun sejak BP Tapera beroperasi yakni tahun 2025.
Seperti diketahui Tapera sendiri dianggap sebagai kebijakan yang zalim karena terkesan memaksa para pekerja yang menerima gaji Upah Minimum Regional (UMR) baik yang telah memiliki rumah sendiri maupun pekerja yang sedang mencicil rumah akan dikenai kewajiban sebagai peserta Tapera, yakni sebesar tiga persen dari gaji penerima.
Tidak hanya itu regulasi Tapera ini juga akan menyulitkan masyarakat untuk menarik tabungan yang telah disetorkan. Karena adanya persyaratan yang harus dipenuhi misalnya para peserta Tapera yang telah meninggal dunia, memasuki masa pensiun ataupun korban PHK yang tidak memiliki penghasilan tetap, dengan begitu peserta Tapera baru boleh menarik tabungan yang telah disetorkan.
Lebih parah lagi dari aturan ini apabila masyarakat tidak melakukan pembayaran maka akan dijatuhkan sanksi administratif yakni pemberhentian hingga pencabutan izin usaha bagi pemberi kerja.
Maka wajar berbagai kalangan masyarakat termasuk buruh kencang bersuara untuk menolak aturan ini, karena mereka adalah pihak yang paling dirugikan atas penerapan aturan ini.
Sedangkan pemangku kebijakan seperti buta dan tuli terhadap keluhan masyarakat, mereka menganggap telah menawarkan solusi namun nyatanya mereka tak ubahnya seperti pemalak rakyat.
Kenyataannya dengan adanya PP ini bukan memudahkan rakyat namun sebaliknya. Di sisi lain pekerja yang berpenghasilan di bawah UMR malah tak mendapatkan jaminan bahkan sulit untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak huni.
Berdasarkan data dari Kementrian PUPR, masih ada 11 juta Rumah tangga yang masih belum layak huni dan belum memiliki rumah sama sekali, sementara pada tahun 2015 sedikitnya 25 juta (40 persen penduduk Indonesia) tidak bisa membeli rumah (Muslimahnews, 11/06/2024)