Oleh Annisa Rachmadhiani
(Komunitas Ibu Peduli Generasi)
Di ujung masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Data menunjukkan, Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. Penurunan harga-harga barang dan jasa, dalam jangka waktu tertentu menurun secara terus-menerus. Itulah yang dialami saat ini, yang sebenarnya tak aneh terdengar, tentang informasi ini.
Dikutip dari media online. Bahwa info ini dikabarkan langsung oleh Bapak Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, ketika berada di istana kepresidenan. Beliau mengungkapkan bahwa, selama lima bulan berturut-turut Indonesia mengalami deflasi. Disebabkan, harga pangan yang terlalu murah. Untuk menangani deflasi, tentu berbeda dengan inflasi. Di sana pemerintah dapat melakukan intervensi melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Beliau menambahkan bahwa semuanya bisa diatasi, karena ada bupati, ada walikota, ada anggaran APBD dari dana yang tidak terduga, dan semuanya pasti bisa teratasi. kompas.com (4/10/3/2024)
Menurut sumber lain yang kita baca. Prediksi seorang pengamat ekonomi, sebut saja Muhammad Andri Perdana. Menegaskan bahwa, sampai akhir tahun gelombang PHK mencapai lebih dari 70.000 tenaga kerja di semua industri. Gelombang PHK ini, tentu dapat menurunkan pendapatan rakyat kelas pekerja. Dampaknya mereka akan lebih sedikit mengeluarkan uang untuk membeli kebutuhan yang diprioritaskan.
Pak Menteri mengatakan bahwa penyebab adanya deflasi karena harga pangan yang terlalu murah. Sepertinya jauh dari fakta. Soalnya harga pangan dari hari ke hari mengalami peningkatan secara signifikan. Kami sebagai rakyat jelata, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Seolah-olah rakyat harus bertanggung jawab penuh atas penurunan ekonomi ini. Padahal, keberadaan rakyat justru menjadi alat untuk menopang ekonomi negara dengan adanya kebijakan pajak di segala arah.
Rakyat, sudah biasa menerapkan gaya hidup hemat dan bijak dalam mengelola keuangan. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, kita bisa mengolah makanan yang kemarin, agar bisa dimakan lagi. Masalah gizi tak menjadi pertimbangan, sing penting sehat dan kenyang. Itulah konsep hidup sederhana rakyat Indonesia yang banyak kita temukan. Sebenarnya kami tak paham, ketika para pakar merumuskan tentang menurunnya ekonomi Indonesia saat ini. Katanya sampai ke tingkat level deflasi.
Sering terdengar Indonesia dikenal memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah dari Sabang hingga Rote. Tetapi faktanya, ibarat miskin di lumbung padi sendiri. Selama hidup harus merasakan kesulitan hidup di tengah melimpahnya kekayaan Ibu Pertiwi. Semua itu membuktikan bahwa Indonesia belum sepenuhnya mandiri sebagai negara, namun rakyatnya telah menunjukkan kemandirian yang luar biasa. Jangan salahkan rakyat, atas deflasi ini. Karena sesungguhnya, penurunan ini akibat dari salah pengelolaannya.
Masuknya ratusan tenaga kerja asing (TKA) asal China yang diduga sebagai buruh kasar, secara bebas masuk Indonesia tanpa hambatan. Janji menyediakan lowongan kerja, hanya isapan jempol belaka.
Persaingan bisnis atau usaha, selalu ada daya saing produk yang akan menghantui pedagang UMKM. Bahkan perusahaan yang kalah bersaing akan ditinggalkan customer. Kebangkrutan siap-siap membayangi.
Memangkas karyawan, sudah dianggap jalan yang efektif, dan mengklaim bahwa menggaji karyawan dianggap hal yang paling membebani pembiayaan. Maka tak heran, banyak perusahaan besar lebih memilih merumahkan pekerja untuk menekan biaya produksi. Para Bapak akhirnya nol pandapatan.
Ya! Inilah dampak dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang berasaskan manfaat, keberadaan negara sebagai penjual dan rakyat sebagai pembeli. Sistem ekonomi kapitalis inilah yang harus disalahkan. Jika sistem kapitalis ini terus dibela, rakyat makin ragu akan kemampuan para pakar. Sebab, mengurus rakyat saja tidak mampu, apalagi mengatasi deflasi.