Oleh : Nia Umma Zhafran
(Aktivis Muslimah)
Dilansir dari Dejurnal.com.Bandung, bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung melalui Dinas Pertanian menerima penghargaan sebagai “Kabupaten/Kota Terbesar Produktivitas Padi di Jawa Barat Tahun 2024” di Puteri Gunung Hotel Jalan Raya Tangkuban Parahu Cibogo Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat, Kamis (28/11/2024).
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung Ningning Hendasah menuturkan bahwa penghargaan yang diterima Pemkab Bandung ini sebagai bukti keberhasilan Kabupaten Bandung dalam mendukung sektor pertanian. Dan Dinas Pertanian berharap Kabupaten Bandung terus menjadi motor penggerak utama pertanian organik di Jawa Barat.
Sayangnya, pemerintah hanya melihat dari sisi prestasi pembangunan pertanian. Fakta menunjukkan ketika terjadi peningkatan pertanian dan produktivitas padi di beberapa daerah, namun tidak seiring dengan meningkatnya kesejahteraan para petani. Tidak perlu berbangga dengan prestasi jika petani sebagai soko guru pertanian masih berada dalam kondisi terpuruk.
Pada kenyataannya petani menghadapi banyak persoalan yang pelik. Dikutip dari Kompas.com, menurut Bank dunia harga beras Indonesia tertinggi di kawasan ASEAN. Harga beras tidak sebanding dengan pendapatan petani lokal. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari 1 dollar atau sebanding dengan 15.199 rupiah perhari. Sementara pendapatan pertahun hanya 341 dollar atau 5,2 juta rupiah.
Banyak faktor yang mempengaruhi harga beras tinggi di negeri ini. Selain biaya produksi yang tinggi, ada faktor yang paling mempengaruhi, yakni dimana sektor pertanian di negeri ini sudah dikuasai oleh Oligarki dari hulu hingga hilir. Sementara negara setengah hati memberikan bantuan kepada petani. Petani dengan sedikit modal, dipaksa untuk mandiri.
Saat musim kemarau datang, banyak petani yang mengeluhkan sulitnya pengairan sawah, harga pupuk yang makin mahal, hingga harga padi yang belum memberikan keuntungan memadai dan mensejahterakan petani. Disisi lain, negara sedang melakukan pembatasan impor beras yang menyebabkan ketersediaan beras jauh lebih sedikit. Alhasil, harga beras dalam negeri menjadi mahal, sebaliknya harga impor lebih murah.
Kondisi ini berpeluang untuk mendorong dibukanya keran impor beras. Kebijakan pembukaan keran impor ini hanya semakin menguntungkan para Oligarki dan menyengsarakan rakyat. Apalagi bisnis beras yang dikuasai oleh ritel-ritel dapat memainkan harga beras di pasaran.
Semua kebijakan terkait pertanian, yang ada condong pada kepentingan para pemilik modal tanpa memperdulikan nasib para petani. Sejatinya ini merupakan buah penerapan sistem Kapitalisme. Sistem ini telah memposisikan negara sebagai regulator dan fasilitator saja, bukan pengurus urusan rakyat.
Pengelolaan pangan yang disandarkan pada sistem Kapitalisme hanya memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk menguasai sektor pertanian demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Fungsi negara sebagai pengurus (ra’in) yang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat dan petani hilang.