Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Puluhan peternak sapi perah dan pengepul susu di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, dalam beberapa waktu terakhir ini terpaksa membuang susu hasil panen mereka. Hal itu lantaran pabrik atau industri pengolahan susu (IPS) membatasi kuota penerimaan pasokan susu dari para peternak dan pengepul susu itu (tempo.co, 08-11-2024).
Belum lama ini para peternak sapi perah di Jawa Tengah hingga Jawa Timur ramai-ramai membuang susu hasil produksinya. Susu sapi produksi lokal tidak diterima akibat pembatasan kuota di industri pengolahan. Perusahaan lebih memilih impor bubuk susu atau skim daripada menyerap susu segar dari peternak lokal karena harganya lebih murah, bahkan lebih murah dari harga pasar dunia.
Menurut data Kementan, ketersediaan susu untuk konsumsi nasional selama 2012—2021 terdiri dari jenis susu sapi lokal dan susu impor. Susu impor menyediakan 11,23 kg/kapita/tahun, sedangkan susu sapi lokal memasok 2,96 kg/kapita/tahun. Dengan kata lain, kondisi pasar susu nasional menunjukkan bahwa 80% dipenuhi dari impor dan hanya 20% yang dari lokal dengan alasan susu lokal tidak memenuhi standar.
Menyedihkan, saat fakta terkait susu di negeri ini mendapat perlakuan tak lazim, program makan bergizi gratis (MBG) malah membuka sambutan hangat terhadap pasokan susu asing. Pasokan susu dari investor Vietnam sebanyak 1,8 juta ton, juga perusahaan Qatar yang siap memproduksi dua juta ton susu per tahun di Indonesia, membuka celah untuk impor sebagai salah satu solusi ketersediaan susu. Walhasil rendahnya serapan susu dari peternak lokal oleh IPS dirasakan oleh rakyat di Indonesia.
Solusi pragmatis di antaranya dengan hilirisasi susu dan pemberian insentif kepada peternak yang terdampak sebagai wujud evaluasi kebijakan impor susu, tidak mampu menyelesaikan permasalahan ini. Hilirisasi merupakan tahap pengolahan produk dari bahan mentah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan siap dijual kepada konsumen akhir yang melibatkan pemrosesan, pengemasan, distribusi, dan penjualan produk. Hilirisasi adalah target yang sejalan dengan Cetak Biru Pertanian 2029, yakni Indonesia mampu mencapai swasembada susu secara penuh. Sayangnya, hilirisasi justru merupakan wujud liberalisasi susu karena perusahaan asing bisa langsung mendirikan pabrik atau memiliki lahan produksi di negeri kita. Terkait ini investor susu asal Vietnam dikabarkan tertarik membangun pabrik susu di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Selain itu, untuk investor dari Qatar, total ada 11 ribu hektare lokasi yang diklaim telah disediakan untuk mereka.
Sungguh, beleid kapitalisme mandul solusi. Alih-alih mengurusi nasib para peternak, negara malah sibuk membuka keran impor dan membuka pintu bagi para investor. Padahal seharusnya pemerintah mengambil langkah progresif dan revolusioner dengan memberikan perlindungan penuh bagi para peternak lokal.
Menkop Budi Arie Setiadi mendorong koperasi-koperasi susu di Indonesia untuk melakukan hilirisasi produk agar bisa mengatasi masalah kelebihan produksi yang tidak terserap oleh IPS. Pihaknya sudah memerintahkan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) untuk menyediakan pembiayaan bagi koperasi susu yang membutuhkan penguatan modal agar bisa meningkatkan volume dan kualitas produksi dan mendorong koperasi susu mulai memasuki rantai hilirisasi produk.
Jika diperhatikan, produk investor asing yang bertujuan mendukung swasembada susu nasional karena menggunakan bahan baku lokal, justru membuat ketatnya persaingan dengan peternak lokal. Akhirnya, yang akan memenangkan persaingan tentu saja para pemodal besar, yakni investor asing.
Miris. Keberadaan susu impor telah membuat stok susu melimpah. Akibatnya menekan harga susu lokal, padahal peternak sudah banyak mengeluarkan biaya operasional. Lihatlah, harga susu sapi di Boyolali terus anjlok hingga menjadi Rp7 ribu per liter. Bayangkan, jika dalam sehari susu yang dibuang mencapai 30 ribu liter susu, maka mereka rugi hingga ratusan juta per hari.
Aksi buang susu menegaskan bahwa ketersediaan susu dari peternak lokal melimpah. Klaim bahwa 80% kebutuhan susu nasional harus dipenuhi dari impor sejatinya menarasikan bahwa pemerintah enggan mengakomodasi sektor peternakan sapi perah maupun produksi susu lokal dengan sebaik-baiknya. Pemerintah selama ini hanya melulu memihak para kapitalis karena kebijakan-kebijakan yang lahir akan memudahkan aktivitas para korporat kapitalis liberal. Susu tumpah ruah namun rakyat tetaplah susah.
Paradigma Islam Solusi Tuntas
Sungguh paradigma Islam selalu tepat. Terkait susu, Islam memiliki cara pandang yang terbaik sesuai pandangan yang sangat fithrah dari manusia yaitu kembali pada-Nya. Susu merupakan karunia-Nya.
Firman Allah Ta’ala,
“Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minuman dari apa yang ada dalam perutnya (berupa) susu murni antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.” (QS An-Nahl [16]: 66).