Oleh Tinie Andryani
Aktivis Muslimah
Data dari Dinas Kesehatan (DinKes) Kabupaten Bandung mencatat sampai Oktober 2024, kasus demam berdarah dengue (DBD) mencapai 2.541 kasus dengan tingkat kejadian atau incidence rate (IR) 67/100.000 penduduk dan 37 orang diantaranya meninggal dunia (media online pikiranrakyat.com).
Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Dinkes Kabupaten Bandung menyatakan angka kematian 37 kasus itu memiliki case fatality rate (CFR) atau proporsi kematian akibat DBD diantara individu yang terinfeksi dengue sebesar 1,46%. Untuk data kasus DBD bulan November masih dalam proses pengumpulan data. Menurutnya, kasus DBD sudah menurun dibandingkan data di periode sebelumnya.
Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah besar untuk mayoritas masyarakat Indonesia. Kekhawatiran akan terjangkitnya penyakit yang berasal dari gigitan nyamuk ini semakin bertambah saat musim penghujan tiba. Deteksi dini dan penanganan yang terlambat mengakibatkan meningkatnya kasus yang berakhir dengan kematian.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam serius yang ditularkan oleh nyamuk betina Aedes aegypti yang menyerang sistem peredaran darah manusia. Oleh karena itu, penyakit ini bisa menjadi lebih serius jika seseorang tidak segera mendapat penanganan yang tepat. Perawatan yang terlambat hanya akan memperbesar risiko dampak buruk hingga kematian.
Adapun penyebab tingginya penyakit DBD dipicu oleh musim hujan yang membuat jentik nyamuk sangat mudah untuk berkembang biak, selain itu faktor lingkungan yang kurang bersih pun turut membantu terjadinya wabah ini, diantaranya banyak genangan air yang dibiarkan di sekitar pemukiman, seperti kaleng, botol, talang air, sampah, ban bekas dsb.
Namun demikian, wabah DBD dapat di cegah, salah satunya adalah dengan melakukan PSN 3M, yaitu pemberantasan sarang nyamuk dengan menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air dan mengubur/mendaur ulang barang yang memiliki potensi untuk dijadikan sarang nyamuk Aedes aegypti. Selain itu dapat dilakukan pula langkah tambahan, seperti menggunakan kelambu, menanam tanaman pengusir nyamuk, atau menggunakan larvasida (abate) ditempat penampungan air.
Tidak hanya itu, umumnya upaya fogging (penyemprotan) pun masih banyak dilakukan, tetapi fogging ini bukanlah cara yang efektif untuk memutus penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) jika dilakukan tanpa langkah langkah lain yang komprehensif. Fogging hanya membunuh nyamuk dewasa yang terkena langsung asapnya, tetapi tidak berdampak pada telur dan jentik nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan faktor utama DBD.
Pun, perilaku hidup suatu masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan nya menjadi faktor pemicu yang signifikan dalam terciptanya wabah DBD. Kesadaran ini harus dipahami sejak dini agar terwujud sistem kehidupan yang bersih dan sehat. Semua ini harus dilakukan terpadu oleh keluarga, masyarakat dan negara.
Namun, mengapa wabah DBD masih terus naik ? Ironi memang, di tengah berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari penyuluhan pentingnya PSN 3M, hingga fogging namun hal ini tidak serta-merta mampu menuntaskan problematika ini. Rupanya ada 3 hal akar permasalahan sistemik yang memicu wabah ini, diantaranya:
1. Ruang hidup masyarakat yang memprihatinkan. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses rumah layak huni. Jangankan untuk bisa menjaga lingkungan nya tetap bersih dan sehat, tinggal di rumah layak huni saja masih sulit. Bahkan banyak dari mereka yang tidak memiliki rumah.