Oleh : Rina Karlina
Banyaknya rakyat yang sudah berkeluarga lebih memilih untuk mengontrak, karena tingginya harga rumah. Bagaikan fatamorgana, karena pemerintah mempunyai program terkait rumah layak ini. Dikutip dari TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Utama Perum Perumnas, Budi Saddewa Soediro, menyampaikan bahwa perusahaan siap mendukung program pembangunan 3 juta rumah yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto dengan memanfaatkan aset yang dimiliki pemerintah. Sebagai pengembang milik pemerintah, Perumnas memiliki tanggung jawab untuk mengelola asetnya secara optimal demi mendukung realisasi program tersebut.
Dari total tiga juta rumah yang direncanakan, dikutip dari Antara, sekitar 20 persen akan dialokasikan sebagai rumah bersubsidi, sementara sisanya dikembangkan untuk hunian komersial. Pembangunan ini mencakup dua jenis hunian, yaitu rumah tapak yang direncanakan untuk wilayah dengan ketersediaan lahan luas dan rumah vertikal, seperti apartemen serta rumah susun, yang difokuskan untuk wilayah perkotaan.
Proyek ini juga akan mencakup wilayah di luar Pulau Jawa, seperti Kota Bekala di Medan, Talang Keramat di Palembang, dan Bontoa di Makassar. Di Kota Bekala, Perumnas bekerja sama dengan PTPN untuk memanfaatkan lahan seluas 241 hektare dari total 800 hektare tanah yang tersedia. Di Talang Keramat, area pengembangan mencakup sekitar 100 hektare, sementara di Bontoa sekitar 90 hektare. (1 Desember 2024)
Pada kenyataannya, Memiliki rumah layak masih menjadi impian jutaan keluarga karena harganya mahal akibat tata kelola perumahan diatur berdasar kapitalisme. Tentu saja bagi rakyat kecil seolah hanya harapan semu saja untuk bisa memilikinya. Ditambah lagi dengan beban kebutuhan lainnya yang sama serba mahal menjadi hal yang tidak mungkin untuk bisa menabung.
Ketika rumah tidak terbeli, masyarakat berusaha untuk tetap membuat tempat tinggal meskipun tidak layak, baik dari segi bangunan, fasilitas, hingga lingkungannya. Muncullah rumah-rumah tidak layak huni atau permukiman kumuh yang akhirnya berpotensi memunculkan penyakit sosial, seperti pelecehan seksual. Betapa banyak kasus pelecehan seksual yang menimpa anak perempuan, sedangkan pelakunya justru orang orang terdekat. Rumah yang seharusnya menjadi tempat aman telah berubah menjadi tempat yang penuh ancaman.
Hal ini tentu tidak lepas dari peran Pemimpin. Dalam sistem kapitalisme pemimpin berpotensi membuat rakyat menderita. Sistem ini pun melahirkan pemimpin yang populis, tidak memiliki kemampuan memimpin dan memerintah. Sehingga ketika mereka memimpin akan mengalami kegagalan. Salah satu contohnya adalah terkait rumah layak ini. Negara telah jelas gagal untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Negara dalam sistem saat ini berperan sebagai regulator yang memuluskan pihak swasta untuk mengendalikan pembangunan perumahan rakyat untuk mendapatkan untung (kapitalisasi). Tapi narasi yang digunakan seolah-olah negara sedang bekerja memenuhi kebutuhan rakyatnya akan rumah layak, namun sebaliknya semakin menambah beban rakyat.
Hakikatnya tugas negara adalah pelayan umat, termasuk dalam hal ini kewajiban negara adalah memberikan fasilitas kepada rakyat yakni rumah yang layak huni. Terutama kepada rakyat yang sudah berkeluarga, agar kehidupannya bisa merasa nyaman dan terjaga. Hal ini pun merupakan hak rakyat untuk mendapat pelayanan yang baik dari negara dengan basis jasa sosial, kualitas yang terbaik, tidak perlu dipungut biaya, apalagi pajak. Sesuai dengan ketetapan Allah SWT Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan bahwa hubungan penguasa dan rakyatnya adalah hubungan ria’ayah (pelayanan).