Oleh: Reni Sumarni
Dalam rapat anggota komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengusulkan adanya perubahan skema pemberian Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari yang saat ini berlaku subsidi pada produk, diubah menjadi subsidi langsung berupa uang tunai kepada yang berhak. Wacana pemerintah mengalihkan subsidi LPG pada BLT (Bantuan Langsung Tunai) selain dianggap tidak tepat sasaran, subsidi gas LPG ini pun semakin membebani APBN. Kebijakan pemerintah ini sejalan dengan target dalam upaya memangkas subsidi dan kompensasi energi hingga Rp671 triliun pada 2025.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno merincikan, jika harga gas LPG 3kg bersubsidi saat ini kisaran Rp20 ribu, maka setelah dicabut harganya menjadi Rp53 ribu. Karena dalam setiap satu tabung LPG 3kg terdapat subsidi pemerintah sebesar Rp33 ribu. Sebagai gantinya, pemerintah akan memberi BLT kepada warga yang berhak sebesar Rp100 ribu perbulannya. Pasalnya nominal tersebut berdasarkan asumsi pemerintah yang rata-rata masyarakat menggunakan gas 3kg setiap bulannya sebanyak 3 tabung.
Agar usulan itu bisa berjalan tahun 2026 mendatang, akan dibarengi penyesuaian penyelesaian Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Adapun skema pemberian nominal uang subsidi LPG kepada masyarakat tersebut akan melalui transfer kepada masing-masing rekening masyarakat yang terdata dalam DTKS. Sementara yang belum memiliki rekening akan diberikan langsung tunai oleh petugas yang ditugaskan melalui kantor pos, kantor kelurahan atau kantor kecamatan lainnya.
Para peneliti sudah mewanti-wanti pemerintah agar tidak menghilangkan subsidi produk migas. Karena bagaimanapun efek domino kenaikan harganya akan cepat dirasakan oleh masyarakat, sebab subsidi LPG berkaitan dengan produktivitas perekonomian. Imbasnya para pedagang kuliner kecil UMKM sangat merasakan dampaknya dengan pencabutan subsidi gas LPG karena semakin membebani biaya ongkos produksinya. Selain itu, pencabutan subsidi LPG menyebabkan harga barang-barang yang lain ikut naik dan apabila ini terjadi terus menerus akan menyebabkan inflasi.
Sedangkan kompensasi yang diberikan yaitu BLT sebesar Rp100 ribu nyatanya tidak bisa mencukupi kebutuhan masyarakat. Kenapa pemerintah harus mengganti subsidi LPG menjadi BLT ? karena katanya ini membebani APBN, padahal itu semua tidaklah benar. Karena pada dasarnya, ini sebuah politik APBN yang kapitalistik yang pemasukannya hanya dari pajak dan utang, sehingga uang yang dikeluarkannya pun bukan untuk kepentingan umat. Pada akhirnya kebijakan pemerintah mengganti subsidi LPG menjadi BLT tidaklah tepat, yang ada menambah persoalan baru karena rakyat sendiri yang merasakan dampak dari kenaikan gas LPG ini, sungguh miris sekali.