Oleh Santika
(Pengemban Dakwah Kaffah)
Rayuan dan janji manis berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah dengan menggelontorkan bantuan sosial dan subsidi sebagai upaya meredam kegundahan rakyat terhadap kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% ditahun depan makin digencarkan oleh pemerintah. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menjelaskan tetap akan melindungi para pekerjanya dengan memberikan berbagai subsidi dan bantuan, untuk pekerja di sektor padat karya, Menaker menyampaikan bahwa pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja dengan penghasilan hingga Rp10 juta per bulan. Sebagai kompensasi kenaikan PPN.
Selain itu, iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang ditanggung BPJS Ketenagakerjaan juga didiskon 50 persen selama enam bulan guna meringankan beban perusahaan dan pekerja, (Sumber Merdeka.com, sabtu 21 Desember 2024). Bukan hanya itu, pemerintah pun memberikan diskon listrik 50% selama dua bulan januari dan Februari untuk kalangan menengah kebawah dengan daya listrik sebesar 450 volt ampere (VA) hingga 2200 VA dengan harapan untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Ditambah pula dengan bantuan beras sebanyak 10kg selama 12 bulan kepada 16 juta keluarga penerima manfaat serta percepatan program bantuan PKH yang seharusnya akhir triwulan I menjadi awal 2025.
Berbagai bantuan dan subsidi seolah olah memang dipersiapkan guna menina bobokan rakyat agar tidak menimbulkan kegaduhan dengan kenaikan PPN. Padahal jika kita kaji lebih dalam sesungguhnya berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak akan mengurangi beban ekonomi masyarakat dan pelaku usaha, karena kebijakan–kebijakan itu hanya bersifat sementara. Contohnya saja subsidi liatrik yang hanya berlaku selama 2 bulan, juga berbagai bantuan sosial yang hanya memenuhi kebutuhan hidup saat itu saja. Lalu setelah itu apa yang akan terjadi dengan rakyat. Sudah dapat dipastikan rakyat akan kembali dengan berbagai beban ekonomi yang semakin menghimpit. Belum lagi kesalahan–kesalahan dan ketidak akuratan data penerima bantuan yang makin memperparah keadaan.
Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 % diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sesuai uu tersebut, kenaikan berlaku mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merupakan kebijakan sangat mendzalimi rakyat. Kebijakan ini diberlakukan ditengah kondisi ekonomi rakyat yang sedang terpuruk dan semakin melemahkan ketahanan ekonomi masyarakat yang kondisinya semakin rapuh. Dampak yang diraskan oleh masyarakat adalah semakin menurunnya daya beli masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah. Dan jelas akan mengurangi konsumsi domestik. Bagi para pengusaha akan memengaruhi margin keuntungan terutama dikalangan UMKM, bisa jadi antara modal dan keuntungan menjadi besar pasak dari pada tiang. Belum lagi dengan kenaikan PPN akan akan menaikkan beban pajak sehingga berdampak kepada para investor–investor dalam menanamkan modalnya.
Menteri keuangan Sri Mulyani berpendapat bahwa kenaikan PPN tetap akan memperhatikan asas keadilan terbukti dengan banyaknya program bantuan. (Sumber klikpajak.id, 19 Desember 2024). Kebijakan itu diibaratkan “menebar racun ekonomi” tapi disisi lain seolah memberikan obat anti racun padahal racunnya tidak hilang karena racun itu sudah dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh. Sehingga dalam pandangan masyarakat pemerintah seakan menjadi pahlawan yang menghembuskan angin segar dengan dikeluarkannya program kebijakan subsidi dan bansos. Padahal semua itu hanyalah kebijakan populis otoriter, kebijakan yang disukai masyarakat karena seolah olah pro terhadap rakyatnya.