Oleh Arini Faiza
Pegiat Literasi
Pemerintah telah menetapkan kenaikan PPN 12% dan mulai berlaku 1 Januari 2025. Meskipun hal ini menuai polemik di kalangan masyarakat, namun penguasa tak bergeming. Kebijakan ini diambil untuk menaikkan pendapatan negara dari sektor pajak, mengurangi utang dan mengikuti standar internasional negara-negara maju yang memberlakukannya hingga 15%.
Untuk mengurangi dampak dari kebijakan ini, pemerintah berencana melakukan berbagai stimulus ekonomi yang berlaku mulai 1 Januari 2025, di antaranya, pembebasan PPN atas listrik dan air, yang menurut Menteri keuangan Sri Mulyani kisarannya mencapai Rp 12,1 triliun, dan dikecualikan bagi pelanggan golongan rumah tangga dengan daya 6.600 Volt Ampere (VA) ke atas. Selain itu, pemerintah juga berencana memberikan diskon 50% selama dua bulan yakni Januari-Februari 2025 bagi pelanggan PLN untuk daya 450 VA hingga 2200 VA. Potongan harga ini berlaku selama dua bulan yakni Januari-Februari 2025. (www.cnbcindonesia.com, 16/12/2024)
Banyak pihak menilai keinginan pemerintah menaikkan PPN 12% di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sangat buruk sebagai kebijakan yang menyengsarakan, sebab dampaknya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Meskipun beberapa program bansos seperti diskon listrik selama dua bulan, pembagian sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), makan bergizi gratis dan lain sebagainya telah disiapkan untuk menanggulangi dampak dari kebijakan ini, namun guyuran bantuan sosial tersebut hanya bersifat sementara dan tidak akan mengurangi beban rakyat dan pelaku usaha.
Meski kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN 12% tetap saja efeknya akan dirasakan oleh semua kalangan, barang dan jasa akan tetap naik untuk menyeimbangkan pendapatan mereka. Kebijakan menaikkan pajak di tengah kesulitan rakyat akan semakin menambah tumpukan masalah di negeri ini. Menjelang bulan Ramadan dan hari raya beban ekonomi masyarakat akan semakin berat, sementara bansos dan subsidi telah berakhir.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyampaikan bahwa bansos dan program subsidi pemerintah tidak berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia setelah kenaikan PPN. Di sisi lain kelompok yang akan mengalami dampak langsung dari kebijakan ini adalah golongan menengah yang rentan terjun menjadi miskin, sementara kalangan bawah semakin terpuruk dalam kemiskinan.
Kenaikan PPN 12% juga akan menyebabkan turunnya konsumsi dan daya beli masyarakat. Ketika pendapatan tetap bahkan cenderung menurun, maka mereka akan mengurangi pengeluaran. Hal ini akan mempengaruhi penghasilan produsen dan pedagang yang akhirnya juga akan berimbas kepada seluruh rakyat.
Menaikkan PPN 12%, namun di sisi yang lain menebar bansos dan subsidi di tengah penolakan rakyat adalah kebijakan populis otoriter. Penguasa seolah-olah berpihak kepada rakyat kecil bukan pada kapitalis, sehingga masyarakat terlena dan menyukai pemerintah. Contohnya, ketika negara membangun bandara, kereta cepat, jalan tol, kawasan industri, dan lain sebagainya. Seolah itu dilakukan untuk rakyat, padahal hal tersebut sejatinya justru mengakomodasi kepentingan para elit pemilik modal, mereka lah yang meraup untung dengan dalih investasi.