OpiniOpini

Standar Hidup Layak yang Tak Layak

265
×

Standar Hidup Layak yang Tak Layak

Sebarkan artikel ini

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Beberapa waktu yang lalu buruh ramai-ramai merespons rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terkait standar hidup layak 2024 sebesar Rp1,02 juta per bulan. Meski namanya ‘standar’, BPS menegaskan ini bukan kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia. Standar hidup layak hanya bagian dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (IPM).

Melihat fakta ini ada ketidakbaikan periayahan saat menentukan standar hidup layak dengan jumlah minimal yang sejatinya tidak layak untuk terwujud kesejahteraan. Negara seakan rela membiarkan rakyat hidup dalam keterbatasan/kekurangan.

Saat Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan standar hidup layak (SHL) di Indonesia pada 2024 sebesar Rp12,34 juta per tahun atau Rp1,02 juta per bulan. SHL direpresentasikan dengan pengeluaran riil per kapita per tahun. Kemudian Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti pada Jumat (15-11-2024) menyatakan bahwa pengeluaran riil per kapita per tahun yang disesuaikan pada 2024 meningkat Rp442 ribu atau 3,71% dibandingkan 2023 yang hanya Rp11,89 juta per tahun atau Rp990,9 ribu per bulan. Tentunya pernyataan Ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang negara terhadap rakyatnya yang mengikuti sistem kapitalisme. Dalam sistem ini rakyat bukan menjadi prioritas perhatian karena penguasa tidak menjadikan pengurusan rakyat sebagai tugas pokok penguasa.

Seiring dengan itu BPS pun  menyampaikan meski namanya standar, SHL bukan kriteria layak atau tidaknya kehidupan warga Indonesia, melainkan salah satu dimensi Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurut BPS, SHL mencerminkan banyaknya barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Makin tinggi angka SHL berarti standar hidup rakyat lebih baik.

Patut diketahui SHL merupakan pengeluaran riil per kapita per tahun yang disesuaikan dengan paritas daya beli. Konsep ini diadopsi dari United Nations Development Programme (UNDP). SHL memperhitungkan pengeluaran untuk makanan dan nonmakanan. Pertanyaannya apakah itu sesuai realita? Ketika kapitalisme mengukur kesejahteraan dari pendapatan perkapita, yang akan membuat ukuran bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin, apakah ukuran tersebut tidak menyesatkan?

Kenyataannya SHL ala BPS banyak mendapat penolakan dari masyarakat. Karena sejatinya saat ini untuk bisa hidup, pemenuhan kebutuhan hidup seorang saja sungguh luar biasa.  Rp1,02 juta tentu tidak akan mencukupi. Apalagi inflasi membuat harga barang-barang melambung.

Bayangkan, seorang warga saja membutuhkan makanan bergizi tiga kali sehari, biaya tempat tinggal, listrik, air, perlengkapan kebersihan, pakaian yang layak, pendidikan, layanan kesehatan jika sakit, transportasi (termasuk BBM), listrik, dan internet. Belum lagi  aneka pungutan seperti iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, Tapera, berbagai jenis pajak pusat maupun daerah, dan retribusi, harus dibayar. Bahkan, pada 2025 tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12%. Nominal kebutuhan hidup kian menjulang tinggi.

Wajarlah jadinya kalangan buruh menolak SHL. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat mengkritik penggunaan istilah “standar” dan memperingatkan bahaya salah makna data ini yang berpotensi disamakan dengan komponen hidup layak (KHL) yang dipakai pemerintah sebagai salah satu dasar penghitungan upah minimum provinsi (UMP). Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi juga mempertanyakan parameter SHL ala BPS hingga muncul angka satu juta rupiah.

Kapitalisme Biang Keladi 

Penetapan SHL yang tidak realistis terkait erat dengan ukuran kesejahteraan dalam sistem hari ini. Sistem kapitalisme mengukur kesejahteraan rakyat dari pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita adalah rata-rata pendapatan yang diperoleh setiap individu dalam suatu negara pada kurun waktu tertentu. Pendapatan per kapita dihitung dengan membagi pendapatan nasional bruto dengan jumlah penduduk. Rata-rata pendapatan per kapita tidak menunjukkan secara riil pendapatan tiap orang. Dalam hal ini pendapatan orang-orang miskin dijumlahkan dengan orang-orang kaya sehingga menghasilkan rata-rata yang tinggi karena terdongkrak oleh pendapatan si kaya, padahal aslinya penduduk yang miskin banyak dan yang kaya hanya segelintir. Walhasil kemiskinan itu tidak terlihat karena tertutupi oleh tingginya pendapatan orang kaya. Seolah-olah semua penduduk memiliki pendapatan yang tinggi, padahal realitasnya tidak demikian. Tampak bahwa ukuran pendapatan per kapita ini bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin.

Kapitalisme telah menjadikan ukuran kesejahteraan berdasarkan pendapatan per kapita merupakan ukuran semu dan menyesatkan. Seolah-olah semua rakyat berpenghasilan tinggi, padahal banyak sekali individu yang miskin, bahkan miskin ekstrem. Pendapatan per kapita tidak menggambarkan kondisi hidup tiap-tiap orang, melainkan hanya angka di atas kertas yang jauh dari realitas.

Kapitalisme riil sebagai biang keladi. Kapitalisme dengan standar ukuran yang salah,  melandaskan setiap kebijakan  dibuat memosisikan rakyat berdasarkan pendapatan per kapita tersebut, seolah-olah setiap rakyat berpenghasilan besar, tidak ada masalah.

Berdasarkan data Bank Dunia, PDB Indonesia per kapita pada 2024 sebesar 5.271 dolar AS (Rp85,4 juta) per tahun atau Rp7.028.000 per bulan. Dengan data ini seolah-olah setiap rakyat berpendapatan sebesar itu, padahal kenyataannya banyak sekali rakyat yang pendapatannya hanya ratusan ribu rupiah per bulan. Akhirnya tidak ada upaya serius pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan karena menganggap rakyatnya sudah mampu, tidak miskin. Kalaupun ada yang mendapatkan bantuan, itu hanya sebagian kecil dari rakyat miskin. Bantuannya pun sangat minim dan sekadarnya, tidak dalam rangka menyelesaikan kemiskinan yang diderita. Kapitalisme telah menumbuhsuburkan kemiskinan demi kemiskinan.

Standar Hidup Layak Diriilkan  dalam Sistem Islam

Jika kapitalisme menjatuhkan rakyat ke  dalam jurang kemiskinan, tidak demikian dengan Islam. Islam menjadikan negara adalah raa’in yang harus mengurus rakyat termasuk menjamin terwujudnya kesejahteraan individu per individu.

Dalam Islam dengan sistem ekonomi Islam yang rigid,  konsep tentang kepemilikan harta, dan penetapan terkait segala sesuatu  yang termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara diriilkan secara detail dan menyolusi. Dengannya,  hasil pengelolaan optimal dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhannya.

Dalam Islam, negara diwajibkan memenuhi kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat. Sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara harus tercukupi sesuai standar hidup masyarakat setempat. Jika sebuah masyarakat umumnya orang makan tiga kali sehari dengan gizi seimbang maka itulah standar yang layak, bukan makan dua kali, bukan juga sekadar kenyang tanpa kecukupan gizi.

Demikian juga dalam pendidikan. Jika secara umum di masyarakat, pendidikan yang layak adalah sarjana (S1) maka itulah standar hidup yang layak.

Jika rumah yang layak adalah yang sehat, memiliki kelengkapan ruang dan fungsi, ventilasi dan drainase yang baik, mendapatkan oksigen dan sinar matahari yang cukup, terhindar dari polusi dan kebisingan, aman, serta menjaga aurat penghuninya. Maka itulah standar layak.

Dengan ukuran layak yang rigid menurut Islam, tampak bahwa taraf kehidupan dalam sistem Islam sangat tinggi. Sistem Islam dengan mewujudnya negara Khilafah mampu mewujudkan taraf hidup yang sejahtera dengan penerapan syariat Islam  secara kafah (menyeluruh).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *