Opini

Spirit Santri Spirit Jihadis Untuk Kebangkitan Islam

297
×

Spirit Santri Spirit Jihadis Untuk Kebangkitan Islam

Sebarkan artikel ini

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 36.000 pondok pesantren, sebuah kekuatan besar penentu masa depan bangsa, penentu lompatan kemajuan bangsa, dan penentu keberhasilan cita-cita bangsa. Semangat para santri dalam berjihad hingga mati syahid untuk memperjuangkan kepentingan bangsa pada masa kemerdekaan harus terus dijaga dalam konteks masa sekarang, di mana bentuk tantangan yang hadir beragam, demikian yang pernah disampaikan oleh Salah seorang Presiden RI beberapa waktu yang lalu.

Demikianlah, setiap 22 Oktober,  Indonesia memperingati Hari Santri dengan mengambil momentum lahirnya resolusi jihad yang difatwakan oleh Hadratusysyaikh K.H. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar Nahdlatul Ulama) pada 22 Oktober 1945. Momentum yang terinspirasi spirit pengabdian santri dan kyai untuk negeri ini,  lahir batin hingga titik darah penghabisan saat berhadapan dengan penjajahan. Seruan jihad melawan penjajah, menunjukkan  santri merupakan  garda terdepan dalam perjuangan untuk kebangkitan umat dan peradaban Islam. Jadi, jika saat ini peringatan hari santri hanya  sekadar mengenang romantisme sejarah kelahiran Hari Santri,  ini justru hanya akan mematikan  peran santri.

Fatwa resolusi jihad yang digaungkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 yang mengandung tiga poin, yaitu: (1) Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardhu ain (2) Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh serta komplotan-komplotannya adalah mati syahid; dan (3) hukum orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh; tentunya hal ini memiliki pengaruh besar pada spirit  para santri yang berkorelasi pada spirit jihad fi sabiilillaah.

Peran Santri Tak Boleh Mati

Santri berada pada ranah lembaga yang dikader menjadi individu yang menyertai umat agar  tafaqquh fiddin dan memotivasi kader ulama menjadi warasat al-anbiya di mana pesantren berperan juga menyebarkan agama Islam dengan dakwah dan jihad.

Catatan sejarah memaparkan berbagai perlawanan ulama dan para santri melawan penjajahan, seperti perlawanan KH Hasyim Asy’ari beserta hizbullahnya, Ki Bagus Rangin dari Majalengka bersama santri Cirebon (1802—1812), perlawanan KH. Zaenal Mustafa beserta santrinya dari Singaparna Tasikmalaya, dan masih banyak para kyai berikut santrinya yang berjihad fi sabiilillaah.

Memang benar, saat ini penjajahan fisik memang tidak terjadi, namun secara ideologi penjajahan masih terus beraksi di negeri ini. Hal ini tampak nyata dalam istem demokrasi kapitalistik dan kebijakan ekonomi neoliberalisme yang dilancarkan  penguasa. Penjualan SDA kepada korporasi asing dan swasta terus dilakukan penguasa. Semakin tragis dengan gempuran pemikiran kufur yang terus menyerang kaum muslim. Ide HAM, pluralisme, hedonisme, sinkretisme, dan sekularisme begitu gencar dipasarkan, menjadi ancaman yang sangat nyata.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *