Oleh Sriyanti
Ibu Rumah Tangga
Di bawah kepemimpinan Bupati Dadang Supriyatna, Kabupaten Bandung mengalami transformasi yang sangat signifikan, terutama di bidang infrastruktur. Perubahan ini dapat dilihat dari beberapa jalan yang sebelumnya rusak parah, kini menjadi mulus dan nyaman dilewati. Hal tersebut diakui oleh Kepala Dinas Pelayanan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Zeis Zultaqwa yang mengatakan bahwa, dalam periode 2020-2023 Pemkab telah memperbaiki jalan sepanjang 243, 91 km, dengan anggaran sebesar Rp546, 4 miliar. Sehingga masyarakat pun sangat merasakan manfaatnya.
Selain itu, Pemkab melalui DPUTR juga telah membangun fasilitas umum lainnya seperti jembatan, di wilayah Cikeruh, Rancamanyar, dan Cidurian. Serta beberapa rumah sakit daerah di Kecamatan Kertasari, Cimaung, Arjasari, Tegalluar, dan Pacira. Pembangunan layanan publik tersebut dianggap menunjukkan komitmen dan bukti nyata, atas keberhasilan kinerja seorang pemimpin daerah terhadap masyarakatnya. (TribunJabar.id, 19/11/2024)
Sejatinya, penyediaan seluruh kebutuhan masyarakat seperti fasilitas umum dan berbagai layanan publik lainnya merupakan kewajiban negara (penguasa). Bukan hal yang patut dibanggakan atau sesuatu yang menujukkan prestasi, jika pemerintah menyediakan itu semua karena memang sudah tugasnya. Apalagi dalam sistem yang diterapkan saat ini, pembiayaan untuk pengadaan sarana tersebut berasal dari uang rakyat melalui pajak. Bukankah pemerintah selalu berdalih bahwa pungutan wajib ini diambil demi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Namun, mengapa seringkali pembangunan infrastruktur ini, diklaim sebagai keberhasilan?
Memang fenomena ini sudah tidak asing lagi dalam sistem demokrasi kapitalis, politik pencitraan lumrah adanya. Terlebih menjelang pemilu, dimana para penguasa dan calon penguasa sibuk melakukan perubahan dan kegiatan turun ke bawah untuk berinteraksi dengan rakyat. Semata untuk meraih simpati pubik agar perolehan suara terbanyak tercapai. Terbukti, di Kabupaten Bandung ada beberapa ruas jalan rusak seperti di depan pasar Cicalengka. Sebelumnya fasilitas umum ini seolah dibiarkan begitu saja, meski keluhan masyarakat sudah disampaikan karena telah banyak memakan korban dan menjelang Pilkada barulah jalan tersebut diperbaiki.
Fakta tersebut hal yang biasa terjadi pada penguasa dalam sistem kapitalis demokrasi. Tidak ada yang benar-benar tulus dalam mengurus masyarakat selain kepentingan pribadi dan kelompok yang mengusungnya. Hal ini berlanjut hingga mereka terpilih lalu membuat sejumlah kebijakan yang hanya didasarkan pada manfaat, bukan pelayanan. Anehnya, masyarakat tetap diam meski kebijakan itu menyengsarakan dan tidak membawa perubahan apapun. Bahkan di tahun pemilu berikutnya rakyat akan kembali memilih sosok serupa. Fenomena ini akan terus bergulir selama kapitalisme masih diadopsi, sehingga kesejahteraan masyarakat sulit terwujud.