Oleh Erna
Aktivis Muslimah
Pemerintah memastikan kenaikan PPN 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Pemerintah beralasan kenaikan PPN 12% untuk meningkatkan pendapatan negara yang bersumber dari sektor pajak, mengurangi utang luar negeri, dan sesuai standar internasional karena negara-negara maju lainnya memiliki tarif PPN sebesar 15%.
Demi meredam dampak kenaikan ini, pemerintah mencanangkan sejumlah stimulus ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan sejumlah jaring pengaman yang akan diberikan oleh pemerintah untuk sementara, di antaranya:
Pertama, bantuan pangan berupa beras kemasan 10 kg selama 12 bulan kepada 16 juta keluarga penerima manfaat.
Kedua, diskon 50% tarif listrik selama dua bulan untuk daya terpasang 450 VA sampai 2.200 VA.
Ketiga, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) diberikan akses kemudahan jaminan kehilangan pekerjaan dan bagi pelaku UMKM atau industri mendapat kompensasi PPh final 0,5% dari omzet sampai dengan 2025.
Keempat, percepatan program bansos, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang menyasar 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang semula dijadwalkan pada akhir triwulan I dipercepat menjadi awal 2025.Guyuran bansos dan subsidi ini seolah-olah memang sudah disiapkan untuk menyambut kenaikan PPN 12% pada awal 2025.
Beban Rakyat
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudistira menyebut ekonomi Indonesia dalam kondisi yang sangat buruk. Beberapa paket kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah tidak akan efektif mengurangi beban ekonomi yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha.
Pasalnya, kebijakan stimulus ekonomi untuk mengurangi dampak kenaikan PPN 12% hanya berlaku dalam jangka pendek, semisal diskon listrik yang berlaku 2 bulan pertama saja. Begitu pula dengan bansos yang mungkin hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Setelahnya, semua kembali ke tatanan semula. Rakyat menanggung beban ekonomi yang berat akibat kenaikan PPN 12%.
Kebijakan menaikkan PPN 12% di tengah kondisi ekonomi yang pasang surut seperti ini jelas akan menambah tumpukan masalah ekonomi yang memiliki efek domino. Meski bahan pokok terbebas dari kenaikan PPN 12%, efek dominonya terhadap masyarakat cenderung menaikkan harga bahan pokok untuk menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran yang akan mereka hadapi akibat kenaikan ini.
Di sisi lain, beban ekonomi yang lebih berat juga akan rakyat hadapi setelah penyaluran bansos dan subsidi berakhir, seperti kenaikan harga menjelang Ramadan dan hari raya. Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal. Ia mengatakan bansos dan program subsidi pemerintah tidak memiliki pengaruh untuk menjaga ekonomi Indonesia setelah kenaikan PPN.
Kenaikan PPN 12% juga akan mendorong turunnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Ketika pendapatan tetap, lalu pengeluaran bertambah, masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran dan menahan uang mereka. Jika kondisi ini terus terjadi, pendapatan para produsen, penjual, atau pedagang juga akan menurun akibat turunnya daya beli masyarakat.
Kebijakan Populis Otoriter
Kebijakan pemerintah saat ini ibarat menebar “penyakit ekonomi” pada masyarakat, lalu berlagak seperti pahlawan dengan menawarkan berbagai insentif dan bantuan seperti obat pereda nyeri.
Dengan kata lain, menaikkan PPN 12% lalu memunculkan solusi bansos serta subsidi di tengah penolakan rakyat bisa disebut sebagai kebijakan populis otoriter, yakni kebijakan yang disukai masyarakat karena seolah-olah berpihak kepada rakyat kebanyakan. Namun, kebijakan tersebut sebenarnya justru mengakomodasi kepentingan para elite, terutama kaum pemodal (kapitalis) yang jumlahnya sedikit.
Sama halnya saat pemerintah melakukan proyek strategis nasional dengan membangun infrastruktur besar-besaran, seolah-olah sebuah prestasi yang membanggakan karena penguasa berhasil membuat jalan, bandara, kereta cepat, kawasan industri, dan sebagainya. Namun, proyek tersebut justru berpihak pada kepentingan kapitalis dengan jorjoran membuka investasi.
Konsekuensi Sistem Kapitalis