Oleh Guspiyanti
Kekerasan terhadap perempuan dan anak masih menjadi isu krusial di tengah masyarakat yang perlu penanganan serius. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Asti Mazar, menyoroti lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kutim . Sejak awal tahun hingga Oktober 2024, telah tercatat 72 kasus kekerasan yang mengkhawatirkan. “Ini merupakan situasi yang memerlukan tindakan serius dari semua pihak terkait, terutama dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak Kutim. Kita harus menemukan solusi untuk mengatasi masalah ini dengan cepat,” ujar Asti Mazar.
Politisi Golkar itu menambahkan penanganan dan pencegahan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak harus melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga dan institusi pendidikan. Orang tua harus aktif memantau interaksi anak-anak mereka, dan sekolah perlu memainkan peran mereka dalam mengedukasi dan melindungi siswa dari kekerasan. Ia juga menekankan pentingnya tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan untuk memberikan efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa depan.(radarkutim.com)
Kekerasan terhadap anak dan perempuan memang mengkhawatirkan tidak hanya di Kutim. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyebut bahwa jumlah prevalensi kekerasan terhadap anak pada 2024 lebih tinggi dibandingkan pada 2021. Sekitar 11,5 juta anak atau 50,78 persen anak usia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan di sepanjang hidupnya. Dalam satu tahun terakhir, terdapat 7,6 juta anak mengalami kekerasan. Data ini diketahui dari hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 yang diluncurkan oleh KemenPPPA.
Apabila kondisi ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan akan lebih banyak jumlahnya. Kerjasama instansi pendidikan dan keluarga tidak akan cukup untuk penanganan dan pencegahan kekerasan jika lingkungan bahkan negara tidak mensupport.
Akar Masalah
Sebenarnya negara telah menyiapkan berbagai perangkat untuk menyelesaikan kasus kekerasan pada perempuan dan anak. Beberapa di antaranya adalah undang-undang perlindungan anak, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan orang, kesehatan, serta penyelenggaraan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. Kemudian ada peraturan menteri tentang standar pelayanan minimal bidang layanan terpadu bagi perempuan dan anakanak korban kekerasan. Selain itu, ada perda khusus yang memuat perlindungan perempuan dan anak.
Sayangnya, seperangkat aturan yang ada itu tidak menghilangkan, bahkan tidak mengurangi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Para pelaku sepertinya tidak memiliki efek jera dengan adanya aturan tadi. Setiap terungkap kasus yang satu, muncul kasus lainnya.