Oleh : Ummu Almee
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Basuki Hadimuljono menutup World Water Forum Ke-10, Jumat (24/5/2024) di Bali International Convention Center (BICC) Nusa Dua, Bali. Seluruh agenda yang diusulkan Indonesia dikatakannya berhasil tercapai. Bahkan jumlah partisipan juga melampaui harapan yang awalnya sekitar 46 ribu orang terus bertambah hingga 64 ribu. Meski begitu, Basuki yang juga Ketua Harian World Water Forum Ke-10 tersebut menyatakan bahwa pekerjaan belum selesai dan masih banyak hal yang perlu ditingkatkan. Berbagai komitmen yang dihasilkan harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata, dan rasa memiliki yang kuat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah World Water Forum, Deklarasi Menteri memasukkan Ringkasan Hasil-Hasil dan Tindakan, yang mencakup 113 proyek air dan sanitasi. Dengan nilai US$9,4 miliar dengan 33 negara dan 53 organisasi internasional sebagai pendukung, donor, serta penerima manfaat air dan sanitasi. “Compendium yang diluncurkan pada pertemuan tingkat menteri harus diwujudkan agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat,” kata Menteri Ketua Harian World Water Forum Ke-10. Lebih lanjut, Basuki juga menekankan pentingnya meningkatkan sinergisitas antarpemangku kepentingan. Untuk tantangan air dan sanitasi juga perlu pendekatan yang holistik dan lintas sektoral. Menteri PUPR pun mengajak setiap negara untuk berkontribusi sesuai kemampuan masing-masing. “Dalam agenda air global, setiap negara harus menjadi bagian dari solusi melalui kolaborasi dan saling melengkapi, bukan melalui kompetisi,” kata Basuki. World Water Forum Ke-10 menghasilkan Deklarasi Menteri, yang memberikan arah yang jelas di tengah tantangan global. Usul Indonesia soal Hari Danau Dunia juga dicantumkan, serta pembentukan Center of Excellence untuk ketahanan air dan iklim, pengarusutamaan pengelolaan sumber daya air terpadu di pulau-pulau kecil. Berbagai inisiatif lainnya, juga melengkapi agenda aksi di bidang air Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UN Water Action Agenda.
Forum yang digelar selama sepekan di Bali itu menjadi unik karena mempertemukan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan agenda air mulai dari pemerintah. (rri.co.id 24/05/2024)
Sejak satu dekade terakhir, isu tentang air memang tengah mengemuka. Miliaran orang di seluruh dunia mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan terhadap air yang merupakan kebutuhan dasar manusia. PBB mencatat ada 2,2 miliar orang yang kesulitan mengakses layanan air minum yang dikelola secara aman, serta 4,2 miliar orang yang tidak memiliki fasilitas sanitasi yang memadai. Fakta inilah yang mendorong Dewan Air Dunia (WWC) menyelenggarakan WWF pertama di Marrakesh tahun 1997. Saat itu sekira 400 orang partisipan berkumpul untuk mencari cara inovatif mengatasi krisis air global pada abad ke-21. Tema yang diangkat saat itu adalah Vision for Water, Life and the Environment. Forum menghasilkan Deklarasi Marrakesh dan ditetapkannya kepemimpinan WWC dalam mengembangkan Visi Air Dunia untuk masa depan air yang berkelanjutan. Dari tahun ke tahun, peserta WWF terus bertambah sejalan dengan bertambahnya problem seputar air, seperti bencana kekeringan dan bencana hidrometeorologi lainnya. Pada acara WWF ke-10 di Bali ini, dipastikan ada 172 negara yang terlibat, meliputi 100.000 partisipan, termasuk 12 kepala negara dan 56 menteri, serta 2.000 orang jurnalis. Tema yang diangkat kali ini diklaim sebagai isu air level tertinggi demi mempercepat pencapaian target SDGs. Indonesia sendiri merasa berkepentingan langsung untuk terlibat dalam merealisasikan komitmen global ini. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau beserta wilayah perairan yang sangat luas, yakni sekira 65%, baik berupa laut, pesisir, daerah aliran sungai, hingga embung, danau, dan waduk.
Pengelolaan sumber air di dunia selama ini belum berangkat dari paradigma air sebagai salah satu hak dasar alias kebutuhan primer bagi masyarakat. Aroma kapitalisasi dan eksploitasi air makin lama makin menguat dengan diserahkannya berbagai pengelolaan air pada pihak pemilik modal, atau oleh negara, tetapi menggunakan skema hitung dagang alias komersial laiknya korporasi. Di Indonesia, misalnya, untuk mendapatkan air layak konsumsi, rakyat harus membelinya kepada PT PAM (swasta) atau PDAM (pelat merah). Perusahaan ini diberi kewenangan oleh negara untuk mengelola dan mendistribusikan air kepada masyarakat secara berbayar. Di pihak lain, tidak sedikit pula wilayah-wilayah yang kesulitan mendapatkan air bersih. Sementara itu, perusahaan-perusahaan air minum yang menguasai sumber-sumber mata air makin marak. Keterbatasan cadangan air berkualitas mengharuskan pengelolaan dan pemanfaatan air secara efektif. Namun, selama ini problem-problem yang menjadi sebab terbatasnya sumber air justru luput dari perbincangan. Negara malah menyolusi dengan proyek-proyek berbau kapitalisasi air yang menambah beban masyarakat dan merusak air. Masifnya pembangunan berparadigma liberalisme, misalnya, jelas-jelas telah menimbulkan bencana gobal terkait air. Pembangunan infrastruktur yang jorjoran dan abai terhadap keseimbangan ekosistem faktanya telah membuat lahan hijau atau bukaan lahan makin berkurang teralih fungsi.
Berbagai kebijakan dan UU yang dikeluarkan oleh legislatif, justru kontradiktif dengan semangat dari pelestarian air itu sendiri. Mulai dari masalah UU SDA atau UU terkait air yang lebih pro pada privatisasi. Sumber-sumber air dikuasai oleh kalangan pemodal tertentu yang memiliki kepentingan bisnis di sana. Dapat kita lihat pula pada UU terkait dengan penanaman modal atau pembangunan. Pembangunan berlangsung sporadis pada masa Jokowi. Berbagai macam proyek infrastruktur atau megaproyek mereka kebut tanpa lagi peduli faktor AMDAL.
Belum lagi di sektor pertambangan. Banyak hutan lindung yang kemudian dibabat habis hanya untuk kepentingan eksploitasi tambang batu bara atau perluasan lahan kelapa sawit. Bahkan, ada hutan lindung di Papua yang kemudian digunduli karena ada kepentingan tambang emas di sana. Jadi, antara kebijakan yang dibuat dan motif untuk mewujudkan pelayanan air untuk warga negara, tidak nyambung atau kontradiktif. Di sisi lain, pemerintah melakukan pembangunan besar-besaran dan mengundang para investor asing untuk mengeksploitasi SDA tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan lingkungan.