Oleh Rindangayu S.Pd
Kejadian massif wakil rakyat menggadaikan SK kembali terjadi. Seperti yang dilansir oleh Detik.com pada hari Sabtu lalu (07/09/2024), sejumlah anggota DPRD di Jawa Timur ramai-ramai menggadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan ke bank sebagai jaminan untuk meminjam uang, sesaat seusai mereka dilantik. Aktivitas serupa juga dilakukan oleh puluhan anggota DPRD Subang periode 2024-2029 yang baru saja dilantik. Jumlah pinjamannya bervariasi, diketahui mulai dari Rp 500 juta hingga Miliaran (Republika.co.id, 06/09/2024).
Fenomena gadai SK ini bukanlah kebiasaan baru, melainkan sudah menjadi “tradisi” bagi sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang baru dilantik. Fakta tersebut merupakan potret buram dari bobroknya sistem politik demokrasi sekular yang ada di Indonesia. Tradisi ini memperlihatkan bahwa jabatan yang seharusnya menjadi amanah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi para pejabat yang menunggangi sistem demokrasi.
Mahalnya Ongkos Politik dan Gaya Hidup Hedon
Menurut pengamat politik Universitas Brawijaya (UB) Prof. Anang Sujoko, langkah anggota legislatif menggadaikan SK adalah fenomena yang cukup memprihatinkan. Beban berat anggota DPRD yang terpilih muncul akibat mahalnya biaya proses demokrasi. Beragam biaya yang harus dikeluarkan saat pemilihan. mulai dari biaya kampanye, iklan, hingga biaya pencitraan di berbagai media, sering kali memaksa para calon wakil rakyat berutang atau mengeluarkan dana yang tak sedikit. Akibatnya, pasca dilantik, banyak dari mereka yang langsung menggadaikan SK sebagai jaminan untuk memperoleh pinjaman dari bank, yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah .
Lebih miris lagi, tidak hanya untuk membayar utang politik saja, dana tersebut seringkali juga digunakan untuk menunjang gaya hidup hedon atau mewah, yang semakin menonjol di kalangan wakil rakyat.
Demokrasi, Sistem Rusak Berbiaya Mahal
Dalam sistem demokrasi, suara rakyat dianggap sebagai dasar penentu kebijakan. Benar atau salahnya suatu keputusan didasarkan atas suara mayoritas rakyat, yang nyatanya hanya diwakili oleh segelintir orang yang terpilih dalam pemilu. Ironisnya, agar dapat terpilih sebagai wakil rakyat, uang dan pencitraan menjadi senjata utama untuk memenangkan pemilihan. Sebab masyarakat hari ini hidup dalam sistem sekuler dengan gaya hidup konsumtif yang menjadikan harta dan kemewahan menjadi standar kebahagiaan.
Maka tak jarang, ‘flexing’ gaya hidup mewah dan ‘money politic’ menjadi pilihan untuk menghalalkan segala cara demi mengambil hati rakyat agar mereka terpilih menjadi wakil rakyat.
Akibatnya, gadai SK atau bahkan bekerja sama dengan para korporat (pemilik modal besar) yang ada disekeliling kekuasaan, serta praktek-praktek korupsi dan kolusi lainnya seakan menjadi hal yang lumrah di kalangan pejabat publik dalam sistem demokrasi. Sehingga alih-alih menjadi perpanjangan suara rakyat, para wakil rakyat terpilih pada akhirnya lebih fokus bekerja untuk mengembalikan modal politik yang dikeluarkan selama masa kampanye sekaligus untuk menunjang kehidupan hedon khas para pejabat. Itulah mengapa dalam demokrasi, jabatan dan kekuasaan pada akhirnya menjadi ajang bisnis besar antara penguasa dengan pengusaha (korporat). Tak heran, berbagai kebijakan yang dihasilkan para wakil rakyat cenderung lebih menguntungkan para korporat, ketimbang memihak pada rakyat. Seperti UU Penanaman Modal, UU Kesehatan Reproduksi, UU Cipta kerja, kebijakan reklamasi, dan lainnya. Inilah fakta rusaknya sistem demokrasi sekular buatan manusia.
Islam: Jabatan Adalah Amanah
Berbeda jauh dengan pandangan sekuler demokrasi yang sering kali menempatkan jabatan sebagai alat untuk mencari keuntungan duniawi. Adapun dalam Islam, jabatan adalah sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Terlebih amanah sebagai pejabat publik merupakan tugas yang harus dilaksanakan dengan landasan keimanan demi tegaknya hukum-hukum syariat Allah secara kaffah di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karenanya, pejabat publik dalam sistem Islam dipilih bukan karena popularitas atau uang, tetapi karena kredibilitas, integritas, dan amanah yang ia emban. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim).