Oleh Rosyidah Al Mardliyah
Akhir akhir ini di beberapa media memberitakan tentang kebohongan sosok pemimpin di negeri kita. Seperti dilansir di media kompas.com/read/2024/10/01
Rizieq Shihab dan sejumlah pihak mengajukan gugatan kepada Presiden Jokowi melalui Tim Advokasi Masyarakat Anti Kebohongan (TAMAK). Gugatan itu diajukan lantaran Jokowi dianggap melakukan perbuatan yang melawan hukum berupa rangkaian kebohongan yang dilakukan selama periode 2012-2024.
Adapun hal-hal yang disebut sebagai kebohongan Jokowi, di antaranya kebohongan soal komitmen untuk menjabat Gubernur DKI selama 1 periode penuh (5 tahun) dan tidak akan menjadi kutu loncat; kebohongan mengenai data 6.000 unit pesanan mobil Esemka; dan kebohongan untuk menolak dan tidak akan melakukan pinjaman luar negeri (asing). kebohongan akan melakukan swasembada pangan, kebohongan tidak akan menggunakan APBN untuk pembiayaan sejumlah infrastruktur seperti Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), dan kebohongan mengenai data uang 11.000 triliun yang ada di kantong Jokowi.
Ini adalah beberapa rentetan sikap buruk pemimpin saat ini, yang tak lagi memandang bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah dan tidak lagi mengingat Allah, tidak lagi takut balasan Allah bagi para pendusta. Bagaimana dengan sosok pemimpin di era milenial? Apakah mempunyai sosok yang mengagumkan karena kepintarannya dalam berpolitik dan lebih sportif dalam berpolitik? Pernyataan Gibran yang tidak mengakui bahwa akun fufufafa yang menuliskan tentang pernyataan negatifnya pada tokoh tokoh politik termasuk presiden terpilih Prabowo Subianto, itu bukan miliknya, menunjukkan kebohongan ada pada dirinya. Belum lagi ketika ditemukan di rumahnya tidak dibiasakan membaca buku buku politik tapi yang ada buku komik, mainan dan PS. Ternyata tidak ada bedanya pemimpin di era jokowi dengan era gibran. Lalu mau diarahkan kemana negeri ini dengan sosok pemimpin yang tidak punya kecakapan politik, dan sikap buruknya yang pembohong?
Merupakan sebuah keniscayaan bahwa pernyataan dan perbuatan seseorang adalah cerminan dari pola pikirnya. Dan pola pikir merupakan cara berfikir seseorang yang dilandasi dari aqidah yang diyakininya. Juga tidak terlepas dari pendidikan yang diajarkan. Pendidikan yang didalamnya merupakan sebuah sistem dengan serangkaian hal hal yang terkait seperti kurikulum pendidikan, fasilitas penunjang, guru guru yang berkualitas, gaji guru yang menjamin kehidupan mereka, dsb adalah merupakan faktor penting terbentuknya siswa yang baik atau buruk. Tentunya sistem pendidikan yang baik akan melahirkan siswa yang baik dan sebaliknya. Maka seorang pemimpin yang baik, berkemampuan sebagai pemimpin, amanah, visinya untuk menjalankan syariah akan terbentuk dalam sistem pendidikan islam. Pemimpin era sekarang terlahir dari sistem sekular kapitalis yang menggunakan sistem pendidikan sekular kapitalis. Maka lumrah lahir pemimpin pemimpin yang orientasinya hanya untuk mencari harta, kedudukan dan popularitas.
Islam berpandangan bahwa seorang penguasa atau pemimpin adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya, kelak ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hari kiamat atas amanah kepemimpinannya itu. Sebagaimana hadits Rasulullah saw., “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Dalam Islam, kepemimpinan dipahami sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Artinya, seorang penguasa atau pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam tauhid dan ketakwaan kepada Allah Taala. Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, semuanya pun akan terjaga.
Para pemimpin ini juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawaban hingga ke akhirat. Rasulullah saw. menegaskan dalam sebuah riwayat hadis, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Swt. untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya.” (HR Bukhari).
Dari seluruh pemaparan ini, sesungguhnya telah jelas bahwa pada dasarnya, seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah Swt. dan amar makruf nahi munkar. Rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain.
Sangat nyata bahwa sistem pemerintahan dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang lahirnya kediktatoran, kesewenang-wenangan, dan dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu.
Kriteria Pemimpin dan Aparat Negara yang Ideal
Dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa kekuasaan memiliki dua kriteria utama, yaitu kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah). Maksud dari al-quwwah adalah kapabilitas dalam semua urusan, baik dalam urusan peperangan, urusan pemerintahan (terwujud pada kapasitas ilmu dan keadilan), serta kemampuan dalam menerapkan syariat. Adapun amanah, direfleksikan pada takut kepada Allah Swt., tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah, dan tidak pernah gentar terhadap manusia.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa seorang pemimpin atau aparat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu al-quwwah (kekuatan), at-taqwa (ketakwaan), dan al-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat). Pejabat negara harus memiliki kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin di samping harus memiliki kekuatan akal yang memadai, ia juga memiliki pola sikap kejiwaan yang baik, yakni sabar, tidak emosional ataupun tergesa-gesa.
Ini semua akan menjadikannya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan syariat Islam, mampu melahirkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.
Sedangkan ketakwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa. Pemimpin yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah Taala. Ia selalu berjalan lurus sesuai syariat Islam dan berusaha sekuat tenaga untuk menerapkan hukum-hukum Allah Taala. Ia sadar bahwa kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak pada Hari Akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan dan perkataannya.
Wujud sosok pemimpin yang baik atau buruk sangat berkaitan erat dengan pendidikan yang tertanam pada pemimpin tersebut. Pendidikan pun berkaitan erat dengan sistem yang menyangga suatu negara. Saat ini sistem pendidikan di negeri ini mengacu pada sistem sekular kapitalis. Sistem yang menafikan diterapkannya agama pada semua aspek kehidupan. Agama hanya digunakan pada saat beribadah saja. Hasil dari siswa didiknya, adalah sesorang yang disiapkan untuk bekerja. Tanpa dibekali ilmu agama, ilmu sains dan teknologi yang berkualitas, sehingga siswa tak lagi menjadi pemikir atau ilmuwan yang menguasai sains tekhnologi juga menguasai tsaqofah islam dan keimanan yang tinggi, tapi hanya menjadi pekerja kasar atau pekerja buruh. Ditambah dengan nihilnya peran negara dari sisi pendanaan, penyediaan fasilitas penunjang agar terwujud pendidikan berkualitas. Anggaran untuk alokasi pendidikan tidak diserap semua untuk keberlangsungan pengajaran di sekolah. Tapi sebagian masuk ke kantong para pejabat. Buktinya banyak di desa desa yang tidak punya gedung sekolah atau menggunakan bangunan seadanya, belum lagi anak anak yang di pedalaman, mereka harus melewati sungai sungai tanpa jembatan untuk sampai ke kota tempat mereka sekolah. Inilah gambaran mirisnya pendidikan dalam sistem kapitalis.
Belum lagi kurikulum pendidikan yang selalu berganti ganti membuat bingung di kalangan para pendidik. Bagaimana dengan kurikulum merdeka belajar, apakah mampu menjadikan siswanya merdeka dari rendahnya mutu pendidikan, merdeka dari akhlak yang buruk, merdeka dari pergaulan bebas, merdeka dari tawuran? Tidak, justru malam membuat pelajar merdeka versi kapitalis sekular.