Oleh Irma Faryanti
Pegiat Literasi
Pada awal Juli lalu, terjadi sebuah demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa Bangladesh. Aksi tersebut kemudian berujung pada kerusuhan dan menewaskan ratusan orang. Bahkan sempat melumpuhkan banyak sektor di Dhaka dan berbagai kota lainnya, karena pendemo sempat memblokir rel kereta api dan jalan utama, fasilitas publik juga stasiun televisi BTV.
Para mahasiswa membakar gedung lembaga penyiaran negara juga puluhan kendaraan yang terparkir di luar. Banyak yang terjebak di dalam gedung ketika api kian membesar dan menyebar. Aksi pembakaran terjadi satu hari setelah perdana menteri Bangladesh, Sheikh Hasina muncul di hadapan publik untuk meredakan bentrokan. Sempat terjadi bentrok dengan polisi anti huru hara, bahkan pihak kepolisian sempat menembakkan peluru karet ke arah para demonstran. (tirto.id, Jumat 19 juli 2024)
Kerusuhan tersebut terjadi sebagai wujud protes terhadap kebijakan pemerintah Bangladesh yang menetapkan pembatasan kuota seleksi pegawai negeri sipil. Mereka menolak pemberlakuan aturan itu dan menuntut penerapan skema seleksi berbasis prestasi. Padahal, sistem ini telah berlaku sejak tahun 1972 dan telah mengalami beberapa kali perubahan.
Para demonstran meminta pemerintah menghapus kuota karena dinilai diskriminatif. Sesuai keputusan Mahkamah Agung, pemerintah menurunkan kuota pekerjaan publik dari 56% menjadi 7 persen. Hal ini memicu kemarahan dan ketidakpuasan pada para mahasiswa yang sedang berjuang di tengah tingginya jumlah pengangguran di negara tersebut yaitu sekitar 32 juta orang yang tidak bekerja. Walaupun di beberapa sektor swasta peluang itu masih ada, namun pekerjaan di pemerintahan lebih diminati karena dianggap lebih stabil dan menguntungkan.
Pada awalnya aksi yang dilakukan berlangsung damai, namun pada akhirnya menjadi tidak kondusif saat mahasiswa dari partai berkuasa liga Awami menyerang pengunjuk rasa, yang mengakibatkan ratusan orang terluka termasuk dari aparat kepolisian. Bahkan dikabarkan 2 orang jurnalis pun tewas pada kejadian itu. Menyadari meningkatnya jumlah korban tewas, pemerintah Bangladesh pun memberlakukan jam malam, pemadaman internet dan patroli militer.