Oleh: Lisa Oka Rina
Pemerhati Kebijakan Publik
Masyarakat Desa Perangat Selatan, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara kembali mengeluhkan sulitnya akses air bersih.
Hal tersebut diakibatkan karena, dalam dua bulan terakhir fasilitas air bersih di Desa Perangat Selatan tidak dapat berfungsi maksimal. Padahal, fasilitas air bersih tersebut dibangun dengan Bantuan Keuangan Khusus Desa (BKKD) sebesar Rp. 600 juta.
Edi Damansyah pun telah meresmikan BKKD Sarpras Peningkatan Fasilitas Air Bersih Program Kukar Idaman Tahun 2023 ini. Saat peresmian oleh Bupati Edi Damansyah, air mengalir lancar. Namun sayangnya, dua bulan belakangan, aliran air ke salah satu RT di Desa Perangat Selatan itu justru macet. Warga yang mulai kesulitan air sejak dua bulan lalu, terpaksa harus membeli air dengan harga sekitar Rp90 ribu per tandon. Bagi yang tak punya cukup uang mereka harus mengangkat air dari sungai atau rumah keluarga untuk keperluan sehari-hari mereka. Sumber air bersih masih terbatas di Kaltim. Ini membuat Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara (PPU), dan Balikpapan sebagai kota penyangga IKN sepakat bekerja sama dalam penyediaan air minum. Antisipasi jangan sampai saat IKN sudah berfungsi dan berkembang, sumber air baku menjadi rebutan.
Penjabat (Pj) Bupati PPU Makmur Marbun mengatakan, saat ini opsi pemanfaatan sumber air baku dari Sungai Mahakam paling potensial. Pihaknya turut mendorong kesepakatan bersama ketiga daerah tersebut. “Tidak mungkin mengambil air Sungai Mahakam, satu daerah membangun SPAM sendiri. Jadi kami harus siasati,” ucapnya.
Makmur mengatakan, cakupan layanan air bersih melalui PDAM PPU baru sekitar 28 persen. “Tahun ini saya meminta cakupan layanan air sudah bisa mencapai 45 persen,” katanya. Dia menjelaskan, masalah yang dihadapi PPU juga kurang lebih sama dengan Balikpapan yakni kekurangan sumber air baku.
Senada dengan itu, Wali Kota Balikpapan Rahmad Mas’ud mengatakan, penyediaan air baku menjadi tantangan utama Kota Minyak. Sebab, Balikpapan mengalami defisit air baku mencapai 803 liter per detik. “Perkiraan defisit akan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk kota,” tuturnya. (PROKAL 12/2/24).
Solusi rekayasa distribusi air 3 hari mengalir dan 3 hari off, juga tidak efektif. Karena masih ada wilayah yang tidak mendapat air bersih meski sudah ada jadwal yang ditetapkan. Apalagi wilayah yang padat penduduk, dan di atas bukit, lebih sulit mendapat pelayanan air bersih. Pada akhirnya, warga memutuskan membeli air bersih secara pribadi, tapi di sisi lain juga masih harus membayar tagihan air.
Bila pun kebijakan untuk melaksanakan penyulingan air laut agar bisa dirubah menjadi air tawar yang dikenal dengan istilah desalinisasi, akan menimbulkan permasalahan biaya yang besar untuk melakukan hal tersebut. Karena harus membayar alat-alatnya dari beberapa perusahaan yang sudah memiliki alat penyulingan air.
Inilah buah pahit penerapan kapitalisme di negeri kita, yang menjadikan kekayaan alam bisa dikuasai segelintir pihak, baik dilakukan individu maupun perusahaan. Ini terlihat nyata dari pemberian penguasaan pengelolaan air dari hulu sampai hilir, berada dalam perusahaan daerah (BUMD) yang sudah berubah wujud menjadi perusahaan terbatas (PT).
Dan karena sistem ekonomi kapitalisme-lah yang telah merubah air sebagai barang komoditas, layaknya barang dagangan, melalui penetapan harga sekian rupiah untuk per meter kubik, karena bertujuan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Di sisi yang lain, para penjual air bersih yang menguasai sumber mata air, kian hari semakin ramai, bahkan sudah berpuluh-puluh tahun telah berjualan air bersih. Ini membuktikan penguasaan sumber mata air bebas diberikan kepada individu.