Opini

Sistem Ekonomi Kapitalis Membutakan Naluri Seorang Ibu

95
×

Sistem Ekonomi Kapitalis Membutakan Naluri Seorang Ibu

Sebarkan artikel ini

Oleh Neneng Hermawati
Pendidik Generasi Cemerlang

Sungguh tega, seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) ditangkap karena menjual bayinya dengan harga dua puluh juta rupiah melalui perantara, di jalan Kuningan, kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara.(kompas.com 14 Agustus 2024)

Himpitan ekonomi menjadi alasan utama, seorang ibu ini menjual bayinya yang baru dilahirkan. Tentu saja kasus seperti ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada bulan Februari lalu, di Tambora, Jakarta Barat, seorang ibu berinisial T(35) menjual bayinya seharga empat juta rupiah. Bagaikan gunung es, hanya sebagian kecil saja yang terungkap kasus penjualan bayi oleh ibu kandungnya.

Entah kemana akal sehat dan hati nurani sebagai seorang ibu? Begitu mudahnya menukarkan bayi yang selama sembilan bulan dikandungnya dengan materi yang jauh tidak berharga.
Tidak dipungkiri, seseorang yang menjual bayinya terdorong berpikir pendek dan nekad karena tidak ada dukungan dari siapapun untuk menyelesaikan kesulitan ekonominya. Biaya persalinan, merawat, membesarkan anak, dan biaya pendidikan saat usia sekolah membutuhkan biaya yang tidak murah.

Miris, seharusnya seorang ibu yang baru melahirkan mendapatkan jaminan hidup dan ketenangan mentalnya sehingga dapat fokus mengurus dan membesarkan buah hatinya dengan baik, tanpa pusing memikirkan beban ekonomi yang menghimpit hidupnya. Kondisi yang dialami seorang ibu dan masyarakat lainnya yang merasakan himpitan ekonomi tidak terlepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini.

Negara lepas tangan dalam mengatur dan mengurusi urusan rakyatnya. Rakyat bekerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari, biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, listrik, BBM, dan gas, tidak cukup hanya itu, beban ekonomi terus bertambah berat dengan penetapan berbagai pungutan dan juga pajak.
Di sisi lain, para penguasa sibuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Mereka tidak merasa bersalah menggunakan uang rakyat yang dipungut melalui pajak untuk kepentingan mereka dengan dalih demi kepentingan rakyat. Kekayaan alam yang melimpah ruang hanya dinikmati segelintir orang. Rakyat hanya gigit jari, tidak pernah merasakan manfaat dan kemaslahatan dari kekayaan alam tersebut. Ibarat “tikus mati di lumbung padi”. Rakyat miskin di tengah-tengah kekayaan alam yang melimpah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *