Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Penunjukan sejumlah politisi pendukung presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai komisaris di perusahaan perusahaan pelat merah dianggap sebagai bentuk konflik kepentingan. Penempatan jabatan di sejumlah badan usaha milik negra (BUMN) yang tidak didasarkan pada profesionalisme dan kompetensi yang memadai diyakini akan mempengaruhi tata kelola perusahaan, merusak budaya profesionalitas, dan menimbulkan spekulasi bisnis yang negatif. Pandangan itu disampaikan Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko.“Konflik kepentingannya nampak jelas. Bukan faktor profesionalitas, bukan faktor kompetensi yang dikedepankan, tetapi lebih pada faktor kedekatan. Sungguh sangat miris karena kita tahu BUMN hari ini menjadi salah satu entitas badan usaha yang perlu,” ujar Wawan kepada VOA, Jumat (15/6). (voaindonesia.com, 16-06-2024).
Demikianlah yang terjadi di negeri ini. Bagi-bagi jabatan di BUMN bukan lagi praktik yang aneh. Aroma pembagian sudah terasa sekak berdirinya BUMN. Dan saat ini aromanya sangat pekat.
Rasa pekat itu semakin kental. Dapat dilihat dari sejumlah mantan petinggi Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran kini telah menjabat sebagai komisaris di berbagai BUMN. Sang ketua dan wakilnya pun kini menjabat menjadi Komisaris Utama dan Komisaris di PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID). Perlu diketahui, MIND ID adalah induk BUMN tambang yang dianggap mampu mengalirkan keuntungan paling besar bagi jajaran atasnya. (BBC Indonesia, 14-07-2024).
Dikuatkan pula oleh Transparency Internasional Indonesia (TII). 482 komisaris dari 106 BUMN pada 2020 yang 17,63 persennya diangkat dari kalangan professional, sisanya (82,37%) diangkat berdasarkan pertimbangan politik. “Wow” besar sekali jumlahnya, namun besarkah kontribusi kerja mereka? Jawabannya lebih kepada kenyataan negatif. Walhasil wajarlah jika performa sejumlah besar BUMN semakin menurun. Ketiadaan pemimpin kapabel di bidangnya tidak relevan dengan beban pengeluaran BUMN yang luarbiasa untuk membayar gaji para pemimpinnya.
Ada apa di negeri ini, hingga setiap permainan politik selalu diiringi ewuh pakewuh balas budi yang tak semestinya terjadi. Warna transaksional pekat terlukis ke dalam polesan politik yang dijalani. Jabatan menjadi posisi yang dibagi-bagi bagi siapa-siapa yang pernah mengangkat kursi dengan pencitraan yang tinggi. Jabatan bukan lagi menjadi amanah yang mewakili hati nurani kaum pribumi bumi pertiwi.
*Lumrahnya Politik Transaksional dalam Sistem Demokrasi*
Benarlah sudah, bahwa politik transaksional merupakan hal lumrah dalam sistem demokrasi. Realitas membuktikan dengan segenap kebijakan yang ada. Bukan rahasia lagi jika berbagai kebijakan selalu saja mengakomodasi kepentingan penguasa beserta kroninya. Walau tak mau mengakui, rakyat sudah terlanjur merasakan demikian juga para politisi mengakui.
Sejatinya praktik politik transaksional ini tidak pernah sepi dari kritik. Sekalipun pemimpin hanya sebagai pelaksana, yang mereka laksanakan serta berbagai produk kebijakan yang mereka rumuskan merupakan buah dari konsepsi politik sebuah sistem. Kebijakan oportunis dan mencederai keadilan lahir dari model pemimpin seperti ini. Kebijakan diluncurkan lekat dengan tabiat sistem yang mengarahkan pada praktik politik yang mengikuti kepentingan tertentu.
Produk politik di atas tentunya berakar dari sebuah sistem yang rusak dan merusak. Terlahir dari sekularisme yang menitahkan pemisahan agama dari kehidupan. Sekularisme demokrasi membolehkan segala cara. Produk kebijakan disusun tanpa melihat lagi halal-haram. Rakyat dan penguasa berelasi hanya sebatas formalitas saja. Pemimpin bekerja untuk rakyat hanyalah jargon. Tentunya kita sangat tidak menginginkan kebangkrutan politik. Akhirnya menghadirkan wacana alternatif menjadi suatu keharusan. Jangan sampai politik transaksional terus menerus terjadi hingga lumrah di tengah rakyat yang hidup susah sedang kaum oligarki tak perlu berpayah-payah.
Penerapan sistem demokrasi telah menghilangkan pandangan bahwa pemerintah adalah pelayan masyarakat bukan hanya sekadar pemeran dalam hal teknis sesuai latar belakang pendidikannya. Hilangnya pandangan tersebut terjadi merata di seluruh bagian pemerintahan. Mulai dari eksekutif, yudikatif, hingga legislatif, alih-alih menjadi pelayan, yang tampak justru sebaliknya mereka harus dilayani. Dan ini pun lumrah di alam demokrasi.
Bayangkan fasilitas mewah yang pemerintah anggarkan untuk para pejabat, sungguh jauh berbeda dengan yang diberikan untuk rakyat. Aggaran luar biasa diturunkan untuk fasilitas para pejabat. Sedangkan untuk rakyat kecil, anggaran yang disediakan sedikit demi sedikit dihapus, bahkan dihilangkan. BBM, listrik, air, dan masih banyak lagi yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat terus menerus dibabat habis tak lagi disubsidi.
Pada akhirnya kita bisa melihat ternyata konsekuensi dari mahalnya kontestasi demokrasi melahirkan politik transaksional. Saat hendak menjadi pejabat negara, individu tersebut harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. Untuk biaya kampanye misalnya, semakin tinggi jabatan yang dikehendaki, kian besar pula anggaran yang dibutuhkannya. Dan yang punya kekuatan itu hanya dua dalam sistem demokrasi, yaitu pengusaha dan sosok yang disokong pengusaha.
Jika sosok pengusaha maju dalam kontestasi, maka hitung-hitungan politik tentunya sudah dimiliki. Besarnya dana yang mereka keluarkan dan harus mampu memancing jumlah suara yang setara tentunya telah dipertimbangkan. Mereka berani “jor-joran” mengeluarkan uang miliaran hingga triliunan rupiah dengan bayangan bisa balik modal bahkan berdasarkan yang dialami para pendahulunya, keuntungan yang didulang bisa berlipat ganda.