Oleh : Risnawati
(Pegiat Literasi)
Perbincangan soal sertifikasi halal kembali menjadi polemik dalam masyarakat terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Sungguh sebuah Ironi.
Melansir dalam laman WARTABANJAR.COM, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengonfirmasi temuan ini pada Selasa (1/10).
Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare.
Kapitalisme, Pangkal Kerusakan
Menelaah lebih dalam bahwa lahirnya berbagai masalah di negeri ini termasuk polemik sertifikasi halal tersebut karena adanya jaminan kebebasan, baik itu kebebasan kepemilikan maupun bertingkah laku asalkan itu menghasilkan bisnis yang menguntungkan, semuanya akan dilakukan. Suapapun yang ingin berbisnis dibebaskan mengelola produk-produknya dengan bahan apa saja, yang penting murah atau aman. Tidak peduli nama tak jadi soal asal dzatnya halal atau tak peduli juga dzatnya halal atau haram, yang penting bisa menarget keuntungan yang besar. Astaghfirullah.
Kebebasan berprilaku juga membuat para konsumen bebas konsumsi apa saja produk yang menurut mereka bermanfaat, tanpa mempedulikan lagi nama produknya atau dzat dari produknya halal ataukah haram.
Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Nama tak jadi soal asal dzatnya halal. Padahal berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda, yang dalam Islam merup;akan persoalan prinsip. Selain itu, Sertifikasi pun jadi ladang bisnis. Apalagi ada aturan batas waktu sertifikasi