Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Apa kabar hari ini Indonesia? Salam sapaku dari anak negeri setelah sekian lama penjajahan fisik berakhir menyakitimu. Negeriku, kita bersyukur saat kaum penjajah yang pernah menjajah negeri ini pun—seperti Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang—terusir. Negeri ini bahkan sebentar lagi akan merayakan Hari Kemerdekaan sekaligus Hari Ulang Tahun (HUT)-nya yang ke-79.
Namun, sayang beribu sayang, hampir 79 tahun, cita-cita kemerdekaan yang diharap-harapkan oleh bangsa ini—adil, makmur, sejahtera, gemah ripah loh jinawi—senyatanya bagai pungguk merindukan bulan, jauh panggang dari api, jauh ikan dari air. Angka kemiskinan masih tinggi Jumlah pengangguran yang kian menjadi. Biaya pendidikan khususnya pendidikan semakin melangit. Harga BBM, listrik, LPG dan sejumlah kebutuhan pokok kian menjulang tinggi. Aneka pajak pun terus mencekik publik.
*Senandung Pilu Kemerdekaan*
Indonesia-ku, senandung kemerdekaan terasa semakin pilu. Irama kesenjangan ekonomi makin melengking tinggi. Lirik indah kekayaan alam negeri ini lebih banyak dinikmati oleh segolongan orang saja —para pengusaha, korporasi asing, aseng—yang terus menyanyikan kerakusan penguasaan sebagian besar sumber daya alam (SDA) seperti barang tambang (emas, perak, nikel, tembaga, bijih besi), energi (seperti batubara) dan migas (minyak dan gas) di negeri ini. Para oligarki berpesta pora, menari-nari, menguasai sebagian besar lahan, termasuk hutan, yang sebagiannya telah berubah menjadi perkebunan sawit, di tengah tangisan kaum pribumi. Ratusan ribu bahkan jutaan hektar ruang hidup rakyat direnggut. Orkestra ekonomi kapitalis terus saja dimainkan dengan aransemen bernada dasar sekuler.
Indonesia tanah airku, utang negaramu kian bertumpuk. Pejabat korup makin kalap. BUMN terus merugi. Proyek-proyek pembangunan infrastuktur pun mangkrak.
Di sini pula, di negeri Indonesia, hukum makin tajam ke bawah dan makin tumpul ke atas. Koruptor dihukum ringan, bahkan divonis bebas. Rakyat kecil mencuri karena rasa lapar dihukum berat. Senandung pilu kembali berlagu. Nyanyian keadilan tak berpihak pada anak negeri.
Hai Indonesia, salah satu cita-cita utama kemerdekaanmu terutama yang dirumuskan dalam sistem pendidikan nasional, dalah bagaimana melahirkan generasi yang beriman dan bertakwa. Namun, kenyataannya hari ini moralitas generasi muda kian merosot. Seks bebas makin binal. Penyuka sesama kian merajalela. Banyak pula yang terjerat narkoba. Perundungan, khususnya di kalangan pelajar dan remaja, sering terjadi. Bahkan kasus kejahatan dengan pelaku pelajar dan mahasiswa pun menambah ragam kriminalitas yang makin hari makin beragam dan makin menakutkan.
Indonesia-ku, bangsa dan negeri ini telah lama terjajah oleh pemikiran kapitalisme-sekularisme. Terintimidasi oleh penguasa sistem kapitalisme-sekularisme despotik yang menjadikan bangsa dan negeri ini terjajah secara nonfisik dalam berbagai bidang lainnya. Terjajah secara ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, pendidikan, dll.
*Islam Memerdekakan Segala Bentuk Penjajahan*
Sungguh, Islam telah mengharamkan penjajahan. Firman Allah Ta’ala,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لاَ إِلَٰهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِي
“Sungguh Aku adalah Allah. Tidak ada tuhan yang lain, selain Aku. Oleh karena itu, sembahlah Aku.” (QS Thaha [20]: 14).
Imam Ath-Thabari menjelaskan: “Innanî ana Allâh (Sungguh Aku adalah Allah),” bermakna: Allah menyatakan, “Sungguh Akulah Tuhan Yang berhak disembah. Tidak ada penghambaan, kecuali kepada Dia. Tidak ada satu pun tuhan, kecuali Aku. Oleh karena itu, janganlah kalian menyembah yang lain, selain Aku. Sungguh tidak ada yang berhak menjadi tempat menghambakan diri, yang boleh dan layak dijadikan sembahan, selain Aku.” Lalu frasa, “Fa’budnî (Oleh karena itu, sembahlah Aku),” bermakna: Allah menyatakan, “Murnikanlah ibadah hanya kepada-Ku, bukan sesembahan lain, selain Aku.” (Ibn Jarir at-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, QS Thaha [20]: 14).
Dari nash ini lahir spirit tauhid. Spirit yang akan membangkitkan perlawanan terhadap segala bentuk penghambaan atas sesama manusia, termasuk penjajahan atas segala bangsa. Inilah yang tampak dari kalimat Rub’i bin ‘Amir kepada panglima Persia, Rustum:
اللهُ اِبْتَعَثَنَا لِنُخْرِجَ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ إِلَى عِبَادَةِ اللهِ، وَ مِنْ ضَيْقِ الدُّنْيَا إِلىَ سِعَتِهَا، وَ مِنْ جُوْرِ اْلأَدْيَانِ إِلَى عَدْلِ اْلإِسْلاَمِ