Opini

Senandung Pilu Kemerdekaan di Bilik Ketidakadilan

418

“Allah telah mengirim kami untuk mengeluarkan (memerdekakan) siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari sempitnya dunia menuju keluasannya; dari kezaliman agama-agama yang ada menuju ke keadilan Islam.” (Ibn Jarir at-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, 3/520; Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 7/39).
Spirit ini muaranya ada pada kalimat tauhid, “Lâ Ilâha illalLâh, Muhammad RasûlulLâh” (Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).

Pertanyaannya, sudahkah sistem yang mengatur kehidupan umat di segala bidang ditegakkan di atas prinsip tauhid? Sudahkah hakikat dan prinsip-prinsip kemerdekaan hakiki menurut ajaran Islam, seperti yang dikemukakan oleh Rub’i bin Amir di atas, telah kita dapatkan? Jika belum, akan sulit kita melihat bahwa sungguh Islam mampu memerdekakan keterjajahan.

Bangsa dan negeri ini bisa dikatakan benar-benar meraih kemerdekaan hakiki ketika mereka mau tunduk sepenuhnya kepada Allah. Tentu dengan menaati seluruh perintah dan larangan-Nya. Caranya dengan melepaskan diri dari belenggu ideologi dan sistem sekuler yang bertentangan dengan tauhid seraya menegakkan sistem Islam secara total. Jika belum, menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkannya.

Indonesia-ku, ketahuilah misi Islam adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Islam akan menjadikan seluruh negeri bercahaya sebagaimana di masa lalu Spanyol dan beberapa negeri Eropa lain, misalnya, mencapai kecemerlangan justru pada saat berada di bawah kekuasaan Islam. Islam memerdekakan apapun dari keterjajahan dan meneranginya dengan berbagai kebaikan, keberkahan yang sangat niscaya, memuliakan manusia, merobohkan bilik ketidakadilan yang ada.

Ketika bebas dari penghambaan sesama makhluk, merdeka dari paksaan pemikiran dan ideologi buatan manusia, menjadi sebuah keniscayaan. Bukan hanya jargon merdeka.

Iniilah kemerdekaan hakiki. Merdeka dari kebijakan yang dikendalikan asing, merdeka dari aset bangsa yang dikeruk orang lain, sedangkan pribumi jadi kuli di negeri sendiri, itu pun kalau dapat peluan. Peluang jadi kuli saja ternyata kian sulit. Penghidupan makin sempit.

Model kemerdekaan seperti ini sungguh bisa terwujud. Terwujud jika manusia mau tunduk hanya pada Allah Ta’ala semata. Sebagaimana yang telah Rasulullah saw. jelaskan melalui surat yang dikirimkan kepada penduduk Najran. Di antara isinya berbunyi,

أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ

“Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia).” (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553)

Merdeka di level ini tidak lagi berada pada tataran penghambaan kecuali pada Allah. Tak ada ketundukkan dan sujud kecuali pada Pemilik alam semesta. Juga tidak ada aturan yang layak ditaati kecuali hukum-hukumNya. Firman Allah Ta’ala,

قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالُ ࣙاقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ

Katakanlah, “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (TQS At-taubah[9]: 24)

Oleh karena itu, merdeka yang sesungguhnya adalah saat tidak ada penghambaan pada sesama makhluk, apalagi sambil dieksploitasi dan dijadikan babu di negeri sendiri. Merdeka yang sebenar-benarnya merdeka adalah saat tidak lagi diperbudak oleh hawa nafsu.

Kewajiban kita hari ini adalah merenungi apakah betul kita telah mensyukuri nikmat kemerdekaan dalam bentuk ketaatan pada perintah dan larangan Allah? Apakah kita ini telah menggunakan seluruh nikmat kemerdekaan ini di jalan Allah, dengan menerapkan hukum-hukum-Nya untuk menata negara dan masyarakat? Jika itu dilakukan, pastilah Allah akan menambah terus nikmat kemerdekaan dengan limpahan berkah yang menciptakan keadilan, kemakmuran, dan aman sentosa yang niscaya di bumi persada Indonesia bahkan di seluruh dunia.

Wallaahu a’laam bisshawaab.

Exit mobile version