Oleh Pujiati
Aktivis Muslimah
Deretan peristiwa akhibat penambangan ilegal dari kurun waktu ke waktu menambah prosentase kerugian dan kerusakan dimana-mana. Seperti di kutip ccnindonesia.com Ketapang, Kalimantan Barat sebesar 774,27 kg emas dan juga cadangan perak sebesar 932,2 kg, berhasil digasak oleh (YH) salah satu Warga Negara Asing (WNA) berasal dari China. Imbasnya Indonesia mengalami kerugian Rp1.02 trilliuanan. Di bulan yang sama aktivitas penambangan ilegal juga terjadi di Solok, Sumatra Barat. Mengutip voaindonesia.com, terjadinya longsor pada tanah galian menelan korban yaitu 11 penambang tewas dan 13 lainnya terluka. Di Bone Bolango, Gorontalu bulan Juli 2024 lalu, berawal dari hujan deras mengakhibatkan tanah longsor di area penambangan dan ratusan orang menjadi korban.
Negara tidak hanya kehilangan material berupa hasil tambang dan kandungan lain di dalamnya. Namun, kerugian terbesar yaitu kerusakan lingkungan yang mampu mengancam kelangsungan hidup masyarakat serta makhluk hidup disekitarnya. Seperti yang dikutip suara.com, kerugian Indonesia pada wilayah IUP PT Timah di Provinsi Bangka Belitung yang berupa non kawasan hutan seluas 95 juta hektar senilai 47 triliun dan di dalam kawasan hutan seluas 75 juta hektar senilai 223 trilliun. Kerusakan yang paling parah yang terjadi di Provinsi Maluku Utara, Halmahera Tengah. Di sana terdapat enam perusahaan penghasil nikel terbesar di Indonesia. Akhibatnya aliran air sungai tercemar sehingga masyarakat di wilayah tersebut kesulitan mendapatkan air bersih dan terpaksa mereka harus membeli air galon untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Belum lagi makin meningkatnya gangguan kesehatan akhibat pencemaran udara serta sumber pangan yang tidak mudah lagi di dapat di alam.
Penambangan ilegal maupun legal saat ini merupakan bentuk ekspansi yang dilakukan para pemilik modal untuk keuntungan mereka semata. Diperparah lagi dengan adanya regulasi kapitalistik yang menghendaki kebebasan atas kepemilikan lahan tambang. Konsep liberalisme ini menjadikan peran negara lemah dihadapan para kapital (pemilik modal). Negara menjadi fasilitator sekaligus regulator demi kepentingan mereka. Bahkan para pejabat negara memiliki peluang meraup keuntungan sebagai beking pelanggaran SOP pengelolaan tambang yang dilakukan oleh para kapital. Sungguh miris, negara mengesampingkan standar halal haram lalu menjadikan standar kebebasan (liberal) dalam pengelolaan tata negara. Akhibatnya kepentingan serta keselamatan umat terabaikan.
Keseriusan Negara dalam menangani dampak pengelolaan tambang ini hanyalah setengah hati. Alih-alih memberikan solusi, malah muncul masalah baru dengan memberikan peluang perijinan Ormas untuk mengelola lahan tambang. Di balik alasan politik balas budi justru ada upaya cuci tangan negara dari tanggung jawabnya. Sungguh nampak jelas siapakah yang diuntungkan dan dikorbankan dalam masalah ini.
Semrawutnya pengelolaan tambang (SDA) bukti negara gagal dalam memetakan kekayaan alam. Seharusnya negara memiliki big data kekayaan atau potensi alam di wilayah tanah air ini dan memiliki kedaulatan dalam mengelolanya. Dan negara dapat memanfaatkan dengan baik penambangan skala kecil maupun skala besar demi menyejahterakan kehidupan umat. Serta kewaspadaan negara terhadap pihak asing dan pihak-pihak lain yang berniat merugikan apalagi mengancam kedaulatan negara. Namun sayangnya, hingga sampai saat ini negara kita telah lama di bawah kekuasaan dan aturan sistem kapitalis.
Akan jauh berbeda dengan negara Islam (khilafah) dalam mengelola tambang. Kesadaran khilafah sebagai pengurus dan pelindung umat, akan mengatur potensi SDA sesuai ketentuan Allah SWT/syariat-Nya. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. “Rasulullah saw. bersabda, ada tiga hal yang tidak boleh dilarang orang lain dihalangi untuk memanfaatkannya; rerumputan, air, api.” (H.R Ibnu Majah)
Dalil tersebut diperkuat Ibnu al Mutawwir berkata, “Lalu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (H.R Abu Dawus dan Tirmidzi) dan banyak lagi hadis yang sejenis.
Dalil tersebut menunjukkan bahwa SDA yang bersifat mengalir maka menjadi milik Negara dan dikelola sepenuhnya oleh negara yang hasilnya di pergunakan untuk kepentingan umum dan menjamin kesejahteraan umat. Hal ini diperkuat dalam sebuah kitab Al Amwal Fi Daulah Al Khilafah hal 54, Syaikh Abdul Qodim Zallum menjelaskan konsep kepemimpinan dan pengelolaan tambang dalam islam berkaitan dengan konsep kepemilikan, yaitu 1) milik individu seperti harta tambang yang jumlahnya sedikit, 2) milik umum/milkiyah amah seperti harta tambang yang depositnya melimpah, 3) SDA yang dikonservasi/himma seperti harta diperuntukkan kebutuhan negara untuk menjaga fungsi ekologi lingkungan.