Opini

Sekulerisme Memberi Ruang, Kasus Penistaan Agama Berulang

234
×

Sekulerisme Memberi Ruang, Kasus Penistaan Agama Berulang

Sebarkan artikel ini

Oleh: Isheriwati, SPdi

 

Di Indonesia tidak hanya sekali terjadi kasus penistaan terhadap agama islam, tetapi sudah terjadi beberapa kali. Tahun 2016 Indonesia gegerkan dengan adanya kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok yang pelakunya menjabat sebagai Gubernur Jakarta kala itu. Sebelumnya ditahun 2015 penistaan agama juga dilakukan oleh Ade Armando yang merupakan seorang dosen Fisip UI karena cuitannya di media sosial Tweeter yang melecehkan kitab suci umat Islam.
Tahun 2019 penistaan agama juga dilakukan oleh Sukmawati Soekarnoputri bahwa Ia telah merendahkan agama Islam yakni, membandingkan ayahnya Soekarno dengan Nabi Muhammad SAW.

Di tahun ini 2024, seorang istri melaporkan suaminya bernama Asep Kosasih (yang merupakan seorang pejabat Kementerian Perhubungan) perihal KDRT. Pada Mei 2024, sang suami dilaporkan lantaran saat melakukan “sumpah tidak berselingkuh”, sang suami menginjak Al-Qur’an. Polda Metro Jaya menyebut bakal memproses laporan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke tersebut.

Tampaknya, dugaan penistaan agama, terlebih terhadap Islam, sering berulang kali terjadi. Sebelumnya, ada YouTuber menyebut Nabi Muhammad ﷺ sebagai pengikut jin. Ada pula komika yang menjadikan Islam sebagai bahan olok-olokan dan kelakar dalam konten media mereka. Kebanyakan objek penistaan tersebut menjurus kepada Islam, bukan agama lain. Lalu mengapa negara seakan tumpul mencegah penistaan agama terjadi?

Penistaan agama makin subur saja dalam ruang hidup sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Ironisnya, paham ini juga diadopsi oleh negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.
Sekularisme ditopang oleh empat pilar kebebasan dalam sistem pemerintahan demokrasi, yakni kebebasan beragama, bertingkah laku, berekspresi, dan berpendapat. Kehidupan sekuler telah menjadikan agama (baca: Islam) sebatas ritual semata. Kemuliaannya makin terkikis oleh gaya hidup liberal dan hedonistik yang dijajakan Barat.

Agama tidak lagi menjadi prinsip hidup yang sakral yang harus dijaga dan dihargai.
Kehidupan sekuler menjadikan seseorang memiliki pandangan yang berbeda tentang agama. Sebagian mereka tidak lagi menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Ada pula yang berpandangan bahwa orang yang taat beragama itu kolot, primitif, dan tidak maju.

Sudut pandang semacam inilah yang memunculkan anggapan bahwa agama tidak lagi penting dan bukan lagi sesuatu yang suci dan harus dihormati. Akibatnya, agama kerap menjadi bahan bercanda, sindiran, olok-olokan, narasi kebencian, hingga penistaan.
Bercermin pada kasus penistaan agama yang pernah terjadi, korban agama yang paling banyak mendapat perlakuan tersebut adalah Islam. Ini terjadi sebagai dampak paham kebebasan yang diterapkan. UU Penodaan Agama yang dijadikan dasar menjaga agama, nyatanya masih tumpul dalam menangkal penistaan terhadap agama.

Atas nama liberalisme, kebebasan berekspresi dan berpendapat selalu menjadi pembenar bagi mereka yang menista. Kalaulah ada unsur khilaf atau tidak sengaja, ini menandakan bahwa masyarakat kita masih belum memahami cara beragama yang benar dan seharusnya.

Andaikan yang dilakukan pejabat Asep itu adalah ketidaktahuannya bahwa bersumpah tidak boleh dilakukan dengan cara menginjak Al-Qur’an, artinya ia tidak paham tentang Islam dan cara memperlakukan kitab suci umat Islam dengan benar dan tepat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *