Opini

Sekolah Tak Memiliki Gedung, Di Mana Peran Negara?

135
×

Sekolah Tak Memiliki Gedung, Di Mana Peran Negara?

Sebarkan artikel ini

Oleh Reni Rosmawati
Pegiat Literasi Islam Kafah

Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, begitulah bunyi UUD 45 Pasal 31 ayat 1. Namun realitanya tidak semua rakyat di negeri ini bisa mengakses dan mendapatkan pendidikan yang layak. Banyak permasalahan seputar pendidikan yang tak kunjung usai, termasuk pemberitaan terkait sekolah yang tidak memiliki gedung.

Salah satunya adalah sekolah SMPN 60 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, tepatnya di Kecamatan Regol. Puluhan siswa SMPN 60 terpaksa belajar lesehan di luar ruangan dengan beralaskan terpal, di bawah pohon rindang tanpa meja dan kursi. Sejak didirikan pada tahun 2018 belum memiliki gedung sekolah dan masih menumpang di SDN Ciburuy. Rita Nurbaeti selaku Humas SMPN 60 mengatakan ada 270 siswa yang terdiri dari 9 rombongan belajar (rombel). Sementara ruang kelasnya ada 7. Yang akhirnya menyebabkan 2 rombongan lainnya belajar di luar ruangan. Rita juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengajukan permohonan pembangunan gedung, namun sampai saat ini belum diketahui secara pasti perkembangannya.

Jika ditelusuri, nyatanya bukan hanya di Kabupaten Bandung terdapat sekolah tanpa gedung. Pada tahun 2017 lalu di Depok ditemukan ada 5 sekolah negeri yang mengalami hal sama. Begitu pun di Bekasi, di 2018 terdapat 10 sekolah negeri yang juga tak mempunyai gedung. (BBC.com, 13/10/2021)

Pendidikan dalam Sistem Kapitalis Membuat Miris

Masalah pendidikan di negeri ini memang bak benang kusut. Bukan hanya sekolah tak memiliki gedung, namun juga banyak persoalan lainnya yang tak jua usai. Dari mulai mahalnya biaya pendidikan, fasilitas sekolah yang rusak/reyot, gaji guru honorer tidak layak, dan lain sebagainya, yang sebenarnya membutuhkan perhatian dari pemerintah.

Fakta miris ini sejatinya merupakan dampak buruk dari penerapan sistem kapitalisme sekuler, yang merupakan buah dari pemikiran manusia. Sistem kapitalismelah yang bertanggung jawab terhadap rusaknya tata kelola pendidikan.

Orientasi kepemimpinan kapitalis yang bukan untuk mengurus rakyat, juga standar kehidupannya yang hanya mengejar keuntungan materi semata, telah mengerdilkan fungsi pendidikan dan menghalangi negara memberikan kualitas pendidikan terbaik bagi rakyatnya. Ketika pendidikan dirasa tak mendatangkan manfaat bersifat materi, maka negara pun abai terhadapnya. Itulah mengapa pendidikan di negeri ini terus menuai masalah tak berkesudahan dan berkutat pada hal yang sama.

Padahal, tiap tahun dana pendidikan mengalami kenaikan. Berdasarkan data yang dilansir oleh Puslapdik.kemendikbud.go.id, di tahun 2024 ini saja misalnya, anggaran pendidikan meningkat 20% menjadi Rp660,8 triliun dari yang tadinya Rp608,3 triliun di tahun 2023. Namun, nyatanya dalam sistem kapitalis anggaran sebesar itu tidak berkorelasi terhadap perubahan iklim pendidikan. Sebab, kapitalisme meniscayakan dana pendidikan tidak digunakan sepenuhnya untuk membiayai pendidikan. Masih dari laman yang sama, 52% atau setara Rp346,6 triliun dari anggaran pendidikan tahun 2024, malah digunakan untuk transfer ke daerah dan Dana Desa (TKDD). Belum lagi, dana tersebut masih rawan dikorupsi dan diselewengkan yang akhirnya memperparah problem pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan.

Karena itu, kita harus menyadari bahwa selama sistem kapitalisme diterapkan, carut-marut masalah pendidikan tidak akan pernah selesai. Bahkan, akan semakin banyak warga negara yang tidak memperoleh fasilitas pendidikan sebagaimana mestinya. Apalagi paradigma kapitalisme memandang bahwa output pendidikan hanya untuk pencapaian materi, alasan bersekolah sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar dan mendapatkan ijazah untuk bekerja. Sehingga mustahil akan terwujud generasi berkualitas yang memanfaatkan ilmunya untuk menolong sesama, apalagi menyuarakan Islam.

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan vital rakyat dan bidang penting dalam terwujudnya masa depan bangsa. Kurangnya fasilitas pendidikan terutama ruang sekolah, tentu bukan masalah biasa dan tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebab ia dapat berimbas pada tidak optimalnya proses pembelajaran yang diterima siswa dan berpengaruh pada kualitas pendidikan yang didapat. Oleh karena itu, seyogyanya, seluruh elemen seperti masyarakat, sekolah, dinas pendidikan, maupun negara harus berusaha mewujudkannya agar semua anak negeri bisa memperolehnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *