OpiniOpini

Sekolah Bahagia dan Pendidikan Berkelanjutan pada Sistem Sekulerisme vs Sistem Islam

45
×

Sekolah Bahagia dan Pendidikan Berkelanjutan pada Sistem Sekulerisme vs Sistem Islam

Sebarkan artikel ini

Sekolah Bahagia dan Pendidikan Berkelanjutan pada Sistem Sekulerisme vs Sistem Islam

Oleh : Rizka Meilina

Konvensi Dewan Guru ASEAN + Korea (ACT+1) ke-38 yang di laksanakan di Hotel Berkeley Pratunam Bangkok pada 6-8 September 2024 dengan tema: Promoting Happy Schooling and Sustainability in Education. Dalam Konvensi tersebut setiap anggota Dewan Guru masing-masing  mempunyai makalah yang mewakili negara mereka, seperti : Vietnam yang berhasil menghadirkan sekolah Bahagia. Sekolah bahagia yang dimaksud mereka dapat dicapai jika tiga faktor berikut dipelihara di sekolah (Hoang Thu Hang, 2024). Pertama, faktor manusia: Siswa, guru, manajer sekolah, dan staf harus memiliki hubungan yang baik, emosi positif; rasa kerjasama, berbagi, dan saling mendukung; kesehatan dan kondisi kerja yang baik; profesionalisme, kualifikasi, keterampilan kerja, inspirasi dan cara untuk menginspirasi orang lain di tempat kerja. Kedua, gaya kerja: sekolah yang bahagia harus memastikan keadilan dan menugaskan pekerjaan secara wajar; mendirikan kelompok pendukung; menerapkan metode pengajaran yang menyenangkan dan menarik; membiarkan siswa bebas untuk berkreasi dan mengembangkan persahabatan yang erat; menciptakan kesempatan bagi guru dan siswa untuk mengekspresikan diri dan diakui untuk nilai diri mereka; mengadakan kegiatan ekstrakurikuler yang menyenangkan, menarik dan bermakna bagi siswa dan guru; mengembangkan saling pengertian dan saling mendukung di antara guru dan siswa; mengadopsi konten pembelajaran yang bermanfaat, realistis, dan menarik; memastikan bahwa siswa dan guru menjaga kesehatan fisik dan mental yang baik; Katakan tidak pada metode manajemen yang membuat stres. Ketiga, lingkungan kerja: sekolah yang bahagia harus memastikan bahwa ruang kelas dan sekolah nyaman dan ramah; siswa dan guru aman dan tidak diintimidasi; ada ruang hijau dan terbuka untuk belajar dan bermain; Manajer sekolah memiliki visi dan kepemimpinan yang terbuka, berdedikasi, toleran dan psikologis gaya; Guru dan pemimpin sekolah mengadopsi pendidikan disiplin yang positif dan konstruktif; sanitasi terpelihara dengan baik; demokrasi diamati. Sedangkan penelitian integrasi teknologi digital, prinsip happy schooling, dan praktik pendidikan berkelanjutan di sekolah menengah Malaysia, menunjukkan penurunan 22% tingkat kecemasan siswa di sekolah dengan program mindfulness, peningkatan 28% dalam keterlibatan siswa, dan peningkatan rata-rata 0,5 poin nilai dalam skor Ujian Akhir Semester Akademik untuk sekolah yang menerapkan teknologi digital dan inisiatif sekolah bahagia. Hasil ini menggaris bawahi potensi pendekatan pendidikan holistik yang mengutamakan kesejahteraan siswa, literasi digital, dan keberlanjutan dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih efektif dan siap masa depan di Malaysia (Mohd Nazri Abdul Rahman, dkk., 2024). Begitu juga dengan Brunei Darussalam telah merangkul Penelitian Tindakan Berbasis Kelas sebagai strategi untuk meningkatkan pedagogi guru yang dapat mempengaruhi pembelajaran dan pencapaian siswa mereka. Beberapa di antaranya menggabungkan inovasi yang dipimpin guru dan berinvestasi dalam integrasi teknologi yang berkelanjutan. Ini telah membuat kemajuan yang signifikan dalam hasil belajar siswa dan pengembangan profesional guru. (Penroose Saleha Hj Mohd Salleh, 2024). Sementara Indonesia menyoroti tentang isu lingkungan. Pendidikan saat ini sistem gagal dalam mengatasi tantangan global. Kurikulum untuk pendidikan berkelanjutan harus merangkul pendekatan transformatif, menanamkan keberlanjutan di semua aspek pembelajaran untuk membekali individu untuk mengatasi dan membentuk masa depan yang berkelanjutan. Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) dengan menggunakan paradigma “Empowerment” dan berbasis riset. Ia menambahkan bahwa KKN-PPM menjadi mata kuliah wajib bagian integral ESD, yang memberikan banyak manfaat dalam peningkatan kapasitas individu. Selain itu, UGM pun menjadi bagian dari Komite Asia-Pasifik Regional Centres of Expertises (RCE) yang bertujuan untuk memberikan edukasi formal, nonformal dan informal di bidang ESD, memberikan informasi, penyadaran, pembelajaran, aksi dan mobilisasi massa/komunitas, serta menggerakkan bangsa ke arah kehidupan dan pembangunan masa depan yang lebih berkelanjutan, dan secara aktif terlibat dan berperan dalam kerja sama dan networking ESD di tingkat nasional dan internasional. UGM juga menerapkan dan mengembangkan konsep Sustainable Campus, yakni kampus sebagai sarana implementasi ESD untuk mahasiswa dan masyarakat, yang dibangun dan diukur dengan kerangka GreenMetric dan THE Impact. ⁣ Dari tingkat SMA, Ali Chudori selaku Kepala Sekolah SMA Labschool Cibubur, memberikan beberapa informasi terkait lesson learned terkait penerapan ESD di sekolah, yakni dengan mengimplementasikan nilai-nilai ESD ke dalam proses pembelajaran, mengintegrasikan ke dalam kegiatan ekstrakurikuler, mendorong tingkat keaktifan organisasi siswa, mengikutsertakan orang tua dan Parent Teacher Association (PTA), serta menggalakkan budaya baru di sekolah. Contoh program implementasi tersebut yakni Sekolah Siaga Bencana, Duta Lingkungan, Sorting Garbage, One Students One Tree, dan sebagainya. Sudah lebih dari tiga tahun Indonesia menerapkan Kurikulum Merdeka yang bernuansa kurikulum negara maju layaknya Finlandia atau Inggris. Namun, makin hari, output pendidikan generasi malah makin mengenaskan. Tingkat kekerasan seksual, perundungan, pergaulan bebas berujung married by accident, narkoba, dsb., kian hari kian meningkat, baik kuantitas maupun kualitasnya. Di tengah kemerosotan mental tersebut, generasi ini malah dijauhkan dari ajaran agamanya yang hakiki dengan adanya proyek moderasi beragama. Para pelajar didesain untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila yang tidak pernah ada wujud hakikinya. Kurikulum yang ada hanya mencangkok sana cangkok sini. Akibatnya, negara tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan generasi ini sampai tuntas. Penerapan Kurikulum Merdeka juga tampak hanya mengedepankan output menjadi mesin pabrik. Jauh dari pembentukan kepribadian dengan kualitas pola pikir, pola sikap, serta penguasaan pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat bagi seluruh alam semesta ini. Terlebih ketika asas kapitalistik menjadi dasar Kurikulum Merdeka dengan menggunakan pemeringkatan Programme for International Student Assessment (PISA), standar keberhasilan capaiannya hanya nilai materi, yakni literasi dan numerasi yang ditetapkan PISA. Keberhasilan pendidikan pun hanya diukur dengan keterserapan lulusan di dunia kerja. Konvensi Dewan Guru merupakan follow up untuk meratifikasi program Sekolah Bahagia ala UNESCO dan sustainable school yang menjadi bagian dari target SDGs. Pasti ke depan akan sampai ke level daerah bahkan ke desa-desa, sesuai dengan tujuannya No One Left Behind. Jika diperhatikan, 3 faktor yang bisa mewujudkan bahagia sebagaimana hasil Konvensi Guru Asean+Korea hanya ekspektasi yang mengarah pada utopis. Pasalnya dalam sistem pendidikan di negara yang bersandar pada sekuler kapitalis dan jelas-jelas mengesampingkan peran Sang Pencipta hanya khayalan saja, karena kapitalis menjadikan tolak ukur kebahagiaan ada pada pemenuhan materi, artinya bersifat duniawi. Pendidikan adalah hal penting dalam kehidupan. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh sebuah negara pun tidak kalah pentingnya karena dari sistem pendidikanlah ditentukan sebuah proses dan output dari pendidikan diterapkan dan mencontoh sistem pendidikan Islam, selain merupakan konsekuensi keimanan (akidah Islam), juga telah terbukti mampu mewujudkan kemajuan dalam segala bidang kehidupan, memakmurkan bumi, serta mewujudkan generasi yang berkualitas baik secara pola pikir maupun pola sikapnya.  Dunia pendidikan tidak bisa dipisahkan dari aturan sistem struktural yang telah ditetapkan. Di Indonesia, fakta kurikulum yang rumit dan program-program seperti P5, guru penggerak, PNM, dan lain-lain untuk menjadi panduan dalam KBM, membuat guru tersibukkan dengan hal yang demikian, sementara pemenuhan kebutuhan apalagi guru honorer sangat tidak layak dengan beban kerja dilapangan, bagaimana hal demikian bisa mengarah pada kebahagian?. Pendidikan dalam sistem sekuler mengukur kebahagiaan hanya dilihat dari keberhasilan materi sehingga yang menjadi ukuran hanya dilihat dari attitude, fasilitas sarana dan prasarana serta apa yang menyenangkan bagi guru dan siswa. Tanpa melihat esensi kebahagiaan hakiki yang seharusnya menjadi tujuan dalam sistem pendidikan. Wajar jika pendidikan yang dihasilkan kalaupun dianggap berhasil hanya dari sudut pandang kebahagiaan duniawi. Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Kebahagiaan hanya diraih manakala sesuai dengan apa yang Allah ridhoi. Maka yang dibentuk adalah pribadi-pribadi yang memiliki pola pikir Islam dan perilaku Islami. Baik guru maupun siswanya. Menjalankan segala aktivitas sesuai petunjuk Rabbnya. Baik dalam tatanan individu, masyarakat termasuk dunia pendidikan, dan juga tatanan negara. Semua bersandar pada aturanNya. Kebahagiaan akan diraih jika manusia bisa hidup sesuai fitrahnya sementara kehidupan sekuler kapitalis bertentangan dengan fitrah, adanya ketimpangan sosial, hedonisme, fleksing, kebebasan semuanya menjadi hal yang tak terelakan termasuk di dunia pendidikan, akademisi dan intelektual, sehingga mewujudkan bahagia dalam sistem saat ini seperti panggang jauh dari api, hanya ekspektasi dan sulit terwujud. Maka kurikulum yang dibuat akan menyesuaikan dengan tujuannya tadi yakni menjadikan aqidah Islam sebagai basis utama dalam pendidikan tingkat dasar. Adapun tingkat selanjutnya akan dipelajari ilmu-ilmu lainnya termasuk tsaqofah dan ilmu umum lainnya. Maka siswa bisa memilih spesialisasi ilmu yang ingin dikuasainya di tingkat lanjutan. Sehingga Islam mendorong kaum muslimin untuk mencetak para Mujtahid yang menguasai berbagai ilmu yg sangat bermanfaat dalam kehidupan dan memecahkan berbagai persoalan kehidupan dengan berkembangnya dinamika kehidupan. Dalam sejarahnya, sistem pendidikan Islam yang diterapkan di dalam Sistem Islam telah berhasil melahirkan banyak cendekiawan dan ilmuwan yang ahli di berbagai bidang. Semisal Al Khawarizmi, seorang ahli matematika, dikenal Barat dengan Algebra atau Aljabar. Dengan kecerdasannya, beliau merumuskan hitungan matematika jauh lebih mudah dengan angka nol ketika saat itu Peradaban Romawi masih menggunakan angka romawi yang susah dipelajari. Seorang ahli kimia, Jabir Ibnu Hayyan atau dikenal dengan nama Ibnu Geber telah menghasilkan rumusan yang hingga kini menjadi dasar bagi ilmuwan Barat di bidang kimia. Bapak kedokteran dunia, Ibnu Sina atau dikenal Avicenna, Ibnu Rusyd, Al-Farabi, dan lainnya menjadi bukti bahwa ulama pada masa peradaban Islam tidak melulu lihai dalam ilmu agama, namun juga menguasai ilmu umum, sains dan teknologi. Para sejarawan mencatat bahwa masa-masa awal Daulah Abbasiyah, khususnya pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun, merupakan masa keemasan Islam. Masa itu ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan di dunia Islam. Pusat-pusat intelektual, seperti madrasah, perpustakaan, observatorium, telah tumbuh di seantero negeri. Karya-karya tulis di berbagai bidang ilmu terus bermunculan. Perkembangan ilmu pengetahuan ini berdampak pada kemajuan peradaban Islam pada saat itu. Ilmu yang mereka temukan pun tetap dijadikan sebagai acuan bagi ilmu-ilmu terapan masa kini. Dari merekalah akhirnya kita bisa mengenal arah kiblat, arah mata angin, memilih menu makanan sehat, memasak dengan cara mudah dan cepat, dan sebagainya. Semua keberhasilan tersebut disebabkan sistem pendidikan Islam menggunakan kurikulum yang berlandaskan akidah Islam, sehingga bukan sebuah utopia lahir generasi yang tinggi akhlaknya, cerdas akalnya, dan kuat imannya. Belum lagi performa individu yang dihasilkan pada masa keemasan Islam, kualitasnya bukanlah kaleng-kaleng, yakni individu yang cerdas secara intelektual dan emosional. Tidak hanya unggul dalam ilmu saintek, mereka pun sukses menjadi ulama yang faqih fiddin. Keseimbangan ilmu ini terjadi karena menjadikan Islam sebagai asas dan sistem yang mengatur dunia pendidikan. Alhasil, nyatalah bahwa yang membuat maju sebuah negara, termasuk pendidikannya, hanyalah Islam. Oleh karenanya, jika pendidikan suatu bangsa ingin maju, tidak ada cara lain, kecuali dengan kembali mengambil role model peradaban Islam yang pernah jaya hampir 13 abad lamanya. Bukan dengan role model negara kafir mana pun. Wallahualam Bishowab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *